Oleh Jesicha Rosiana Simanjuntak |
Tanggung jawab sosial
perusahaan atau corporate social responsibility (untuk selanjutnya
disebut CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional.
Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan
yang dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu.
Berbeda dengan
kondisi Indonesia ,
di sini kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun belakangan. Tuntutan
masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar
bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Hasil Program
Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan
Hidup menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat
rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat
emas.
Dengan begitu
banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa
mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan. Bagi kebanyakan perusahaan,
CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya capital maintenance.
Kondisi tersebut
makin populer tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke
dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang
menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Aturan lebih tegas
sebenarnya juga sudah ada di UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap
penanam modal berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika
tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan
kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal,
atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal
(pasal 34 ayat (1) UU PM).
Tentu saja kedua
ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama
pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat
itu sempat mengundnag polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut
masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung
dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat
keras menentang kehadiran dari pasal tersebut
1. Esensi Pengaturan
CSR sebagai Kewajiban Hukum
Sampai saat ini belum
ada kesamaan pandang mengenai konsep dan penerapan CSR, meskipun kalangan dunia
usaha menyadari bahwa CSR ini amat penting bagi keberlanjutan usaha suatu
perusahaan. Gurvy Kavei mengatakan, bahwa praktek CSR dipercaya menjadi landasan
fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability development),
bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholders dalam arti
keseluruhan.
1.
Penjelasan pasal 15 huruf b UU
Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial
perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman
modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “.
2.
Pasal 1 angka 3 UUPT , tangung
jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat
maupun masyarakat pada umumnya.
Konteks tanggung
jawab social (CSR) dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah
undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas
kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan. Tanggung jawab social berada
pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hokum. Moral dalam
tanggung jawab social lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan
sepenuhnya dari sikap batiniha, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas”
yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan
tanggung jawab hokum lebih menekankan pada ksesuaian sikap lahiriah dengan
aturan, meskipun tindakan tersbeut secara obyektif tidak salah, barangkali baik
dan sesuai dengan pandanan moral, hokum, dan nilai-nilai budaya masyarakat.
2. CSR dan
Implikasinya pada Iklim Penanaman Modal di Indonesia
Penanaman modal
dalam UUPM No. 25 Tahun 2007, Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa
”Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam
modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia”. Kehadiran UUPM NO. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal diharapkan, mampu memberikan angin segar kepada investor dan memberikan
iklim investasi yang menggairahkan,dan yang tentunya akan meningkatkan daya
saing Indonesia
di pasar global yang merosot sejak terjadinya krisis moneter.
Penerapan kewajiban
CSR sebabagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ,
Pasal 15 huruf b menyebutkan ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan”. Jika tidak dilakukan maka dapat diberikan
sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha,
pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal
(Pasal 34 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007). Sedangkan yang dimaksud “tanggung
jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap
perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat
setempat.
CSR merupakan sarana
untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik,
khususnya dengan para stakeholdernya. Maka dari itu, sangat tepat apabila CSR
diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan harus dijalankan
oleh pihak perseroan selama masih beroperasi.
UU PM memberikan
jaminan kepada seluruh investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak
membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.
CSR dalam UUPM dapat
terlaksana jika dibarengi dengan lembaga yang kuat dalam menegakkan aturan dan
proses yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, pengertian
hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu
perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes)
yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjosisworo Soejono,
Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal, di Indonesia, Mandar Maju, Bandung , 1999.
Gurvy Kavei dalam
Teguh , Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, Makalah pada seminar “Corporate
Social Responsibility”: Integrating Social Acpect into The Business,
Yogyajarta, 2006.
Suprapto, Siti
Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Lokal di
Jakarta, Galang vol. 1 No. 2, Januari 2006.
0 comments:
Post a Comment