Oleh
Rina Ramadani
|
Kata “properti” tentunya sudah tidak asing bagi kita di zaman
sekarang ini. Hal tersebut dikarenakan bisnis ini sudah membanjiri kota-kota
metropolitan. Ketika kita memikirkan tentang bisnis properti, perhatian kita
pasti tertuju pada rumah yang besar dengan berbagai model arsitekturnya, fasilitas-fasilitas
mewahnya dan sebagainya. Namun ternyata tidak, bisnis ini tidak hanya ada di
kota-kota metropolitan saja, tetapi juga di pelosok perkampungan dan tentunya
dalam ruang lingkup yang lebih kecil dari bisnis properti di kota-kota
metropolitan, menyediakan hunian yang lebih sederhana dari bisnis properti di
kota-kota metropolitan seperti halnya rusun (rumah susun), apartemen, dan lain
sebagainya.
Tahukah Anda bahwa bisnis properti ini tentunya tidak lepas dari
perhatian pemerintah, oleh karena itu dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan.
Ternyata diantara undang-undang tersebut, banyak memberikan dampak yang buruk
bagi bisnis properti itu sendiri. Banyak peraturan-perundang-undangan yang
hingga saat ini menjerat pebisnis properti khususnya bagi seorang developer
(pengembang) bisnis properti ini. Setidaknya ada tiga peraturan
perundang-undangan yang mengancam bisnis properti ini.
Menurut Pengamat Hukum Properti, Erwin Kallo, peraturan
perundang-undangan yang menjerat bisnis properti ini adalah yang pertama,
Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman tahun 2011. Peraturan perundang-undangan
ini memiliki dampak yang negatif bagi developer (pengembang) dan juga konsumen.
Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, developer boleh menjual
perumahan atau apartemen yang dibangunnya kepada konsumen, setelah berhasil
membangunnya 20% dari proyek yang direncanakan.
Bagi developer besar seperti Ciputra, Lippo, Bakrie, Agung Podomoro
Group, hal tersebut bukan suatu masalah karena mereka memang memiliki modal
yang sangat besar. Tetapi, bagi mereka developer menengah ke bawah hal ini
menjadi suatu masalah karena modal mereka sedikit sehingga mereka sangat
mengharapkan adanya perputaran uang yang cepat yaitu salah satunya dengan cara
menjual rumah yang sudah siap huni terlebih dahulu.
Selain itu, peraturan perundang-undangan ini juga memiliki dampak
negatif terhadap konsumen. Dengan adanya peraturan perundang-undangan di atas, akan terjadi serah terima yang
mundur karena konsumen yang telah membeli produk properti ini, harus menunggu
rumah yang akan dibelinya hingga selesai dan siap untuk dihuni setelah itu
terjadi serah terima antara konsumen dan produsen properti.
Dampak negatif lainnya dapat dilihat dari spesifikasi bangunan.
Seperti yang kita ketahui bahwa bisnis property ini, melakukan strategi pasar
dengan cara membuat maket dari produk yang mereka tawarkan. Hal ini merugikan
konsumen karena konsumen tidak mungkin memeriksa satu persatu hal yang tidak tampak dari property yang
ingin dibelinya seperti fondasi dan struktur bangunan sehingga spesifikasi
bangunan yang akan dibelinya, konsumen tidak mengetahui secara mendalam dan
akan membuat konsumen kecewa apabila produk yang dibelinya tidak sesuai dengan
keinginannya.
Dampak lain bagi konsumen adalah sertifikasi yang belum diterima
tetapi rumah sudah diserahkan yaitu adanya developer nakal yang bisa saja
menipu konsumen. Selain itu, balik nama yang lama di notaris. Lamanya
sertifikat tanah yang tidak sampai ke tangan konsumen ternyata bukan berasal
dari developer nakal saja karena bisa saja proses sertifikasi yang terhambat di
saat balik nama di notaris.
Peraturan perundang-undangan lain adalah Peraturan Perundang-undangan
No. 20/2011 tentang pembangunan rumah susun, dimana setiap developer yang
nangun rumah susun, apartemen, kondotel, kondominium wajib membangun 20% rumah
susun murah untuk rakyat. Memang jika dipikirkan kembali, hal tersebut baik,
karena membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, yang menjadi
persoalan, ada unsur wajib di dalamnya dan pembangunan 20% tersebut menimbulkan
pertanyaan, ”Siapa yang akan membelinya?”
Peraturan perundang-undangan lain adalah Peraturan
Perundang-undangan No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar. Peraturan Perundang-undangan ini bisa dijadikan alat pemerasan oleh
oknum yang tidak bertanggungjawab kepada para developer. Hal ini menjadi
masalah bagi developer yang membeli tanah jauh di pelosok dengan harga yang
masih murah, lalu setelah daerah tersebut berkembang, mereka mendirikan
bangunan. Dengan adanya Peraturan Perundang-undangan ini, tanah developer bisa
saja direbut oleh negara.
Adanya regulasi atau peraturan-peraturan yang tidak mapan justru
akan memperlambat berkembangnya bisnis di Indonesia, selain itu, infrastruktur
dan birokrasi juga menjadi perhatian dalam bisnis di Indonesia. Padahal
sebelumnya, International Financial Cooperation (IFC) melaporkan peringkat
kemudahan memulai berbisnis di Indonesia turun dua peringkat dari sebelumnya
yaitu 127 menjadi 129 dari 181 negara. Oleh
karena itu, mari kita berbenah demi kemajuan bisnis Indonesia
dan daya saing investasi di Indonesia .
Referensi:
- Koran Tribun Medan, 03 Maret 2012
- http : //devimustikagunadarma.wordpress.com
- http : //iai-kepri.org
0 comments:
Post a Comment