Friday, June 8, 2012


Oleh
Rina Ramadani
Kata “properti” tentunya sudah tidak asing bagi kita di zaman sekarang ini. Hal tersebut dikarenakan bisnis ini sudah membanjiri kota-kota metropolitan. Ketika kita memikirkan tentang bisnis properti, perhatian kita pasti tertuju pada rumah yang besar dengan berbagai model arsitekturnya, fasilitas-fasilitas mewahnya dan sebagainya. Namun ternyata tidak, bisnis ini tidak hanya ada di kota-kota metropolitan saja, tetapi juga di pelosok perkampungan dan tentunya dalam ruang lingkup yang lebih kecil dari bisnis properti di kota-kota metropolitan, menyediakan hunian yang lebih sederhana dari bisnis properti di kota-kota metropolitan seperti halnya rusun (rumah susun), apartemen, dan lain sebagainya.

Tahukah Anda bahwa bisnis properti ini tentunya tidak lepas dari perhatian pemerintah, oleh karena itu dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan. Ternyata diantara undang-undang tersebut, banyak memberikan dampak yang buruk bagi bisnis properti itu sendiri. Banyak peraturan-perundang-undangan yang hingga saat ini menjerat pebisnis properti khususnya bagi seorang developer (pengembang) bisnis properti ini. Setidaknya ada tiga peraturan perundang-undangan yang mengancam bisnis properti ini.


Menurut Pengamat Hukum Properti, Erwin Kallo, peraturan perundang-undangan yang menjerat bisnis properti ini adalah yang pertama, Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman tahun 2011. Peraturan perundang-undangan ini memiliki dampak yang negatif bagi developer (pengembang) dan juga konsumen. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, developer boleh menjual perumahan atau apartemen yang dibangunnya kepada konsumen, setelah berhasil membangunnya 20% dari proyek yang direncanakan.

Bagi developer besar seperti Ciputra, Lippo, Bakrie, Agung Podomoro Group, hal tersebut bukan suatu masalah karena mereka memang memiliki modal yang sangat besar. Tetapi, bagi mereka developer menengah ke bawah hal ini menjadi suatu masalah karena modal mereka sedikit sehingga mereka sangat mengharapkan adanya perputaran uang yang cepat yaitu salah satunya dengan cara menjual rumah yang sudah siap huni terlebih dahulu.
           
Selain itu, peraturan perundang-undangan ini juga memiliki dampak negatif terhadap konsumen. Dengan adanya peraturan perundang-undangan  di atas, akan terjadi serah terima yang mundur karena konsumen yang telah membeli produk properti ini, harus menunggu rumah yang akan dibelinya hingga selesai dan siap untuk dihuni setelah itu terjadi serah terima antara konsumen dan produsen properti.

Dampak negatif lainnya dapat dilihat dari spesifikasi bangunan. Seperti yang kita ketahui bahwa bisnis property ini, melakukan strategi pasar dengan cara membuat maket dari produk yang mereka tawarkan. Hal ini merugikan konsumen karena konsumen tidak mungkin memeriksa satu persatu  hal yang tidak tampak dari property yang ingin dibelinya seperti fondasi dan struktur bangunan sehingga spesifikasi bangunan yang akan dibelinya, konsumen tidak mengetahui secara mendalam dan akan membuat konsumen kecewa apabila produk yang dibelinya tidak sesuai dengan keinginannya.

Dampak lain bagi konsumen adalah sertifikasi yang belum diterima tetapi rumah sudah diserahkan yaitu adanya developer nakal yang bisa saja menipu konsumen. Selain itu, balik nama yang lama di notaris. Lamanya sertifikat tanah yang tidak sampai ke tangan konsumen ternyata bukan berasal dari developer nakal saja karena bisa saja proses sertifikasi yang terhambat di saat balik nama di notaris.

Peraturan perundang-undangan lain adalah Peraturan Perundang-undangan No. 20/2011 tentang pembangunan rumah susun, dimana setiap developer yang nangun rumah susun, apartemen, kondotel, kondominium wajib membangun 20% rumah susun murah untuk rakyat. Memang jika dipikirkan kembali, hal tersebut baik, karena membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, yang menjadi persoalan, ada unsur wajib di dalamnya dan pembangunan 20% tersebut menimbulkan pertanyaan, ”Siapa yang akan membelinya?”

Peraturan perundang-undangan lain adalah Peraturan Perundang-undangan No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Peraturan Perundang-undangan ini bisa dijadikan alat pemerasan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab kepada para developer. Hal ini menjadi masalah bagi developer yang membeli tanah jauh di pelosok dengan harga yang masih murah, lalu setelah daerah tersebut berkembang, mereka mendirikan bangunan. Dengan adanya Peraturan Perundang-undangan ini, tanah developer bisa saja direbut oleh negara.

Adanya regulasi atau peraturan-peraturan yang tidak mapan justru akan memperlambat berkembangnya bisnis di Indonesia, selain itu, infrastruktur dan birokrasi juga menjadi perhatian dalam bisnis di Indonesia. Padahal sebelumnya, International Financial Cooperation (IFC) melaporkan peringkat kemudahan memulai berbisnis di Indonesia turun dua peringkat dari sebelumnya yaitu 127 menjadi 129 dari 181 negara.  Oleh karena itu, mari kita berbenah demi kemajuan bisnis Indonesia dan daya saing investasi di Indonesia.

Referensi:
  1. Koran Tribun Medan, 03 Maret 2012
  2. http : //devimustikagunadarma.wordpress.com
  3. http : //iai-kepri.org


0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!