Oleh Pratama Hartadi |
Prasyarat utama yang diperlukan untuk dapat mengembangkan sistem
hukum yang dapat berfungsi dengan baik (well-functioning) bagi suatu
ekonomi pasar adalah mempersiapkan seperangkat hukum tertulis yang secara jelas
dan jernih mampu menunjukkan batasan-batasan hak serta pertanggungjawaban
individual dan yang relevan dengan kebijakan ekonomi yang pro mekanisme pasar.
Upaya mewujudkan prasyarat ini bukanlah merupakan tugas yang sederhana,
terutama bagi negara Republik Indonesia. Hal ini berkenaan dengan kondisi
obyektif Indonesia yang masih merupakan negara berkembang yang berada pada masa
transisi menuju ekonomi pasar dan terbatasnya kemampuan dalam melakukan
analisis masalah serta pengambilan keputusan dalam bidang ekonomi.
Faktor lain yang berpengaruh adalah kurangnya pengembangan
prinsip-prinsip pertanggungjawaban terutama menyangkut kapasitas dan
akuntabilitas fidusier (fiduciary capacity dan fiduciary accountability).
Misalnya dalam pertanggungjawaban badan hukum pelaku usaha yang berupa
Perseroan Terbatas (PT), meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya, yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT), namun kurang dapat diaplikasikan secara mudah mengingat tidak adanya yurisprudensi
berkenaan dengan masalah yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai tanggung jawab direksi (fiduciary duties)
dan kemungkinan penghapusan tanggung jawab terbatas suatu PT (Piercing The
Corporate Veil) telah diatur dalam UUPT masing-masing Pasal 85 dan Pasal 3
ayat (2). Pasal 85 UUPT mengatur bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan
usaha perseroan. Sedangkan Pasal 3 ayat (2) UUPT mengatur kemungkinan
dikecualikannya prinsip tanggung jawab terbatas PT dalam hal-hal sebagai
berikut :
- Persyaratan
perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
- Pemegang
Saham baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan
perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
- Pemegang
Saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
perseroan; atau
- Pemegang
Saham baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan
kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup
untuk melunasi utang perseroan.
Namun melihat kasus-kasus yang muncul berkenaan dengan
permasalahan tersebut, penanganannya jauh dari ketentuan yang telah diatur
dalam UUPT, contohnya adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
yang termasuk penyalahgunaan utang atau pinjaman perusahaan oleh pemegang
saham.
Kasus lainnya adalah kasus kepailitan PT Mustika Niagatama (salah
satu perusahaan Ongko Group) yang diindikasikan sebagai paper company,
karena begitu minimnya asset PT Mustika Niagatama dibandingkan dengan jumlah
kewajibannya. Fakta demikian muncul menjadi sorotan utama dalam laporan
kurator, bahwa aset likuid PT Mustika Niagatama hanya Rp 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah), sedangkan total utang yang dimiliki Rp
2.600.000.000.000,- (dua trilyun enam ratus milyar rupiah).
Istilah Paper Company sendiri adalah suatu perusahaan yang di atas
kertas berbentuk PT, namun hanya bertujuan sebagai penarik dana pinjaman bagi
perusahaan lain dalam satu kelompok untuk mengelabui rambu-rambu perbankan,
tidak menjalankan usaha sebagaimana layaknya PT. Memperhatikan pengertian dari
paper company tersebut, maka pemegang saham PT Mustika Niagatama dapat
dikenakan “Piercing The Corporate Veil”.
Tantangan berat lainnya bagi Indonesia dalam mewujudkan prasyarat
pembentukan hukum yang market-friendly adalah kenyataan sebagaimana dikaji oleh
Thomas M Franck bahwa pembentukan hukum di negara berkembang menghadapi
persoalan untuk melaksanakan secara bersamaaan tiga tahap pembangunan hukum
berkenaan dengan politik yang dilewati negara-negara modern industrialis, yakni
tahap unifikasi, industrialisasi dan tahap social welfare.
Dengan kata lain Indonesia sebagai salah satu negara berkembang
yang cenderung mengarahkan dirinya kepada negara yang mendukung ekonomi pasar
membutuhkan para pemimpin masyarakat yang mempunyai keahlian khusus, yakni
mampu melakukan perencanaan, rekonsiliasi, penyesuaian dan penyeimbangan ketiga
tahap pembangunan hukum dimaksud.
Ketiga tahapan tersebut merupakan pendekatan yang dikemukakan oleh
Professor Organski, yakni tahap pertama berupa unifikasi dimana yang menjadi
permasalahan adalah integrasi politik dari suatu masyarakat atau pembentukan
negara kesatuan. Tahap kedua berupa industrialisasi, dimana yang menjadi
permasalahan utama adalah perjuangan modernisasi ekonomi dan politik, dan dalam
tahap ini pemerintah dituntut untuk berfungsi sebagai pendorong pertumbuhan
elit baru, antara lain para professional di bidang industri dan mempromosikan
prinsip-prinsip akumulasi modal. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pergeseran
peranan pemerintah untuk menjadi pelindung masyarakat dari kekerasan kehidupan
industri dengan mengagendakan program-program kesejahteraan.
Berkenaan dengan pembentukan hukum yang berhadapan dengan
kepentingan pembangunan ekonomi yang market-friendly, Cheryl W Gray menyatakan
bahwa secara umum terdapat dua kemungkinan sumber hukum substantif, yakni home
grown atau perundang-undangan “hasil cangkokan” (legislation transplanted)
yang keseluruhan atau beberapa bagiannya merupakan hasil adaptasi dari
perundang-undangan negara-negara yang sistem ekonomi pasarnya sudah memadai. Di
satu sisi cara mengimpor hukum secara cangkokan dapat memberikan keuntungan
dalam rangka menciptakan model-model uji-awal. Namun sesuai sifatnya yang merupakan
cangkokan maka mengandung risiko, mengingat hukum yang bersangkutan tidak
tumbuh dari budaya hukum lokal dan mungkin tidak sampai ke akarnya.
Contoh yang sangat populer adalah kurangnya law-enforcement di
bidang hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), terutama berkenaan dengan
masalah pembajakan atau pelanggaran dan kejahatan HAKI. Peraturan
perundang-undangan serta institusi berkenaan dengan Hak Cipta, Merek, Paten,
Desain Industri dan Sirkuit Terpadu telah ada dan dipandang cukup memadai. Namun
berhadapan dengan masalah pembajakan, pemerintah dianggap tidak cukup berdaya
dan kehilangan alternatif bagi pemberantasannya, bahkan terkesan kalah
menghadapi mafia pembajakan. Masih segar dalam ingatan misalnya penertiban
penjual VCD bajakan yang berakhir dengan perusakan jalan dan pertokoan di
daerah Glodok.
Kesimpulan
Hukum dapat berfungsi sebagai “a tool of social engineering”,
atau sekurang-kurangnya sebagai faktor penggerak mula yang memberikan dorongan
pertama perubahan sosial secara sistematik. Dalam makalah ini fungsi hukum
tersebut diarahkan untuk mengembangkan sistem hukum yang mendukung kegiatan
perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas di negara Indonesia.
Sampai batas tertentu, pembangunan hukum di Indonesia efektif
dalam mengembangkan sistem hukum yang mendukung perekonomian, terutama
berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mempergunakan
model transisi, misalnya dalam pembentukan Undang-undang No. 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,
dan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI).
Namun sebagaimana diukur dengan model yang dikemukakan Cheryl W
Gray mengenai tiga prasyarat agar suatu sistem hukum dapat berfungsi dengan
baik, yakni hukum yang dikembangkan harus market-friendly, terciptanya lembaga
pendukung dan kemanfaatannya bagi kalangan bisnis, maka reformasi hukum di
Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan permasalahan, antara lain
sebagai berikut :
- Dalam pembentukan hukum, Indonesia dihadapkan dengan permasalahan model pilihan hukum substantif, serta kondisi obyektif Indonesia sebagai negara berkembang, sehingga mesti melakukan secara bersamaam tiga tahap pembangunan hukum untuk menjadi negara modern industrialis, yakni tahap unifikasi, industrialisasi dan tahap social welfare;
- Dalam
pembentukan lembaga pendukung, permasalahan yang dihadapi adalah adanya
ketidakkepercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan belum berwibawanya
lembaga-lembaga alternatif penyelesaian sengketa; dan
- Dari
aspek kemanfaatan, sebagai akibat adanya permasalahan dalam pembentukan
lembaga pendukung, maka hukum dan institusi yang dibentuk masih belum
memberikan kepastian bagi kalangan bisnis berkenaan dengan hak, kewajiban
maupun law-enforcement-nya.
Daftar Pustaka :
0 comments:
Post a Comment