Thursday, June 21, 2012


Oleh
Pratama Hartadi
Prasyarat utama yang diperlukan untuk dapat mengembangkan sistem hukum yang dapat berfungsi dengan baik (well-functioning) bagi suatu ekonomi pasar adalah mempersiapkan seperangkat hukum tertulis yang secara jelas dan jernih mampu menunjukkan batasan-batasan hak serta pertanggungjawaban individual dan yang relevan dengan kebijakan ekonomi yang pro mekanisme pasar. Upaya mewujudkan prasyarat ini bukanlah merupakan tugas yang sederhana, terutama bagi negara Republik Indonesia. Hal ini berkenaan dengan kondisi obyektif Indonesia yang masih merupakan negara berkembang yang berada pada masa transisi menuju ekonomi pasar dan terbatasnya kemampuan dalam melakukan analisis masalah serta pengambilan keputusan dalam bidang ekonomi.



Faktor lain yang berpengaruh adalah kurangnya pengembangan prinsip-prinsip pertanggungjawaban terutama menyangkut kapasitas dan akuntabilitas fidusier (fiduciary capacity dan fiduciary accountability). Misalnya dalam pertanggungjawaban badan hukum pelaku usaha yang berupa Perseroan Terbatas (PT), meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), namun kurang dapat diaplikasikan secara mudah mengingat tidak adanya yurisprudensi berkenaan dengan masalah yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai tanggung jawab direksi (fiduciary duties) dan kemungkinan penghapusan tanggung jawab terbatas suatu PT (Piercing The Corporate Veil) telah diatur dalam UUPT masing-masing Pasal 85 dan Pasal 3 ayat (2). Pasal 85 UUPT mengatur bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Sedangkan Pasal 3 ayat (2) UUPT mengatur kemungkinan dikecualikannya prinsip tanggung jawab terbatas PT dalam hal-hal sebagai berikut :
  • Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
  • Pemegang Saham baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
  • Pemegang Saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
  • Pemegang Saham baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Namun melihat kasus-kasus yang muncul berkenaan dengan permasalahan tersebut, penanganannya jauh dari ketentuan yang telah diatur dalam UUPT, contohnya adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang termasuk penyalahgunaan utang atau pinjaman perusahaan oleh pemegang saham.

Kasus lainnya adalah kasus kepailitan PT Mustika Niagatama (salah satu perusahaan Ongko Group) yang diindikasikan sebagai paper company, karena begitu minimnya asset PT Mustika Niagatama dibandingkan dengan jumlah kewajibannya. Fakta demikian muncul menjadi sorotan utama dalam laporan kurator, bahwa aset likuid PT Mustika Niagatama hanya Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), sedangkan total utang yang dimiliki Rp 2.600.000.000.000,- (dua trilyun enam ratus milyar rupiah).

Istilah Paper Company sendiri adalah suatu perusahaan yang di atas kertas berbentuk PT, namun hanya bertujuan sebagai penarik dana pinjaman bagi perusahaan lain dalam satu kelompok untuk mengelabui rambu-rambu perbankan, tidak menjalankan usaha sebagaimana layaknya PT. Memperhatikan pengertian dari paper company tersebut, maka pemegang saham PT Mustika Niagatama dapat dikenakan “Piercing The Corporate Veil”.

Tantangan berat lainnya bagi Indonesia dalam mewujudkan prasyarat pembentukan hukum yang market-friendly adalah kenyataan sebagaimana dikaji oleh Thomas M Franck bahwa pembentukan hukum di negara berkembang menghadapi persoalan untuk melaksanakan secara bersamaaan tiga tahap pembangunan hukum berkenaan dengan politik yang dilewati negara-negara modern industrialis, yakni tahap unifikasi, industrialisasi dan tahap social welfare.

Dengan kata lain Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang cenderung mengarahkan dirinya kepada negara yang mendukung ekonomi pasar membutuhkan para pemimpin masyarakat yang mempunyai keahlian khusus, yakni mampu melakukan perencanaan, rekonsiliasi, penyesuaian dan penyeimbangan ketiga tahap pembangunan hukum dimaksud.

Ketiga tahapan tersebut merupakan pendekatan yang dikemukakan oleh Professor Organski, yakni tahap pertama berupa unifikasi dimana yang menjadi permasalahan adalah integrasi politik dari suatu masyarakat atau pembentukan negara kesatuan. Tahap kedua berupa industrialisasi, dimana yang menjadi permasalahan utama adalah perjuangan modernisasi ekonomi dan politik, dan dalam tahap ini pemerintah dituntut untuk berfungsi sebagai pendorong pertumbuhan elit baru, antara lain para professional di bidang industri dan mempromosikan prinsip-prinsip akumulasi modal. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pergeseran peranan pemerintah untuk menjadi pelindung masyarakat dari kekerasan kehidupan industri dengan mengagendakan program-program kesejahteraan.

Berkenaan dengan pembentukan hukum yang berhadapan dengan kepentingan pembangunan ekonomi yang market-friendly, Cheryl W Gray menyatakan bahwa secara umum terdapat dua kemungkinan sumber hukum substantif, yakni home grown atau perundang-undangan “hasil cangkokan” (legislation transplanted) yang keseluruhan atau beberapa bagiannya merupakan hasil adaptasi dari perundang-undangan negara-negara yang sistem ekonomi pasarnya sudah memadai. Di satu sisi cara mengimpor hukum secara cangkokan dapat memberikan keuntungan dalam rangka menciptakan model-model uji-awal. Namun sesuai sifatnya yang merupakan cangkokan maka mengandung risiko, mengingat hukum yang bersangkutan tidak tumbuh dari budaya hukum lokal dan mungkin tidak sampai ke akarnya.

Contoh yang sangat populer adalah kurangnya law-enforcement di bidang hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), terutama berkenaan dengan masalah pembajakan atau pelanggaran dan kejahatan HAKI. Peraturan perundang-undangan serta institusi berkenaan dengan Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Industri dan Sirkuit Terpadu telah ada dan dipandang cukup memadai. Namun berhadapan dengan masalah pembajakan, pemerintah dianggap tidak cukup berdaya dan kehilangan alternatif bagi pemberantasannya, bahkan terkesan kalah menghadapi mafia pembajakan. Masih segar dalam ingatan misalnya penertiban penjual VCD bajakan yang berakhir dengan perusakan jalan dan pertokoan di daerah Glodok.

Kesimpulan

Hukum dapat berfungsi sebagai “a tool of social engineering”, atau sekurang-kurangnya sebagai faktor penggerak mula yang memberikan dorongan pertama perubahan sosial secara sistematik. Dalam makalah ini fungsi hukum tersebut diarahkan untuk mengembangkan sistem hukum yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas di negara Indonesia.

Sampai batas tertentu, pembangunan hukum di Indonesia efektif dalam mengembangkan sistem hukum yang mendukung perekonomian, terutama berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mempergunakan model transisi, misalnya dalam pembentukan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Namun sebagaimana diukur dengan model yang dikemukakan Cheryl W Gray mengenai tiga prasyarat agar suatu sistem hukum dapat berfungsi dengan baik, yakni hukum yang dikembangkan harus market-friendly, terciptanya lembaga pendukung dan kemanfaatannya bagi kalangan bisnis, maka reformasi hukum di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan permasalahan, antara lain sebagai berikut :
  1. Dalam pembentukan hukum, Indonesia dihadapkan dengan permasalahan model pilihan hukum substantif, serta kondisi obyektif Indonesia sebagai negara berkembang, sehingga mesti melakukan secara bersamaam tiga tahap pembangunan hukum untuk menjadi negara modern industrialis, yakni tahap unifikasi, industrialisasi dan tahap social welfare;
  2. Dalam pembentukan lembaga pendukung, permasalahan yang dihadapi adalah adanya ketidakkepercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan belum berwibawanya lembaga-lembaga alternatif penyelesaian sengketa; dan
  3. Dari aspek kemanfaatan, sebagai akibat adanya permasalahan dalam pembentukan lembaga pendukung, maka hukum dan institusi yang dibentuk masih belum memberikan kepastian bagi kalangan bisnis berkenaan dengan hak, kewajiban maupun law-enforcement-nya.

Daftar Pustaka :

http://hukumpositif.com/node/45 

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!