Wednesday, June 13, 2012


Oleh
Rezeki Putri Nainggolan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Hal tersebut secara eksplisit disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan transformasi dari unit kerja Eselon II Depkeu (1973-1993) yang kemudian menjadi unit kerja Eselon I (1993-1998 dan 2000-2001). Tahun 1998-2000 dan tahun 2001 sampai sekarang, unit kerja tersebut menjadi Kementerian BUMN. 

Pasca krisis moneter tahun 1978, pemerintah giat melakukan privatisasi karena privatisasi dianggap membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik.


Dalam sistem perekonomian nasional, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki peran yang sangat strategis. Keberadaan BUMN tidak bisa disamakan dengan dengan peran perusahaan swasta. Karena BUMN merupakan instrumen penyeimbang bagi negara untuk menjamin bekerjanya mekanisme ekonomi yang selaras dengan kepentingan sosial.

Kemampuan BUMN dalam mengemban misi dan tujuannya tersebut mendapat sorotan yang memberikan penilaian bahwa kinerja BUMN masih jauh dari memuaskan. Hal ini terutama disebabkan oleh tidak adanya konsep yang jelas dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyelenggarakan BUMN. Karena itu pulalah BUMN cenderung dimanfaatkan oleh mereka yang berkuasa.

Berdasarkan uraian di atas maka bangsa ini sebenarnya membutuhkan strategi yang tepat dalam mereformasi pengelolaan BUMN. Strategi reformasi tersebut adalah dengan melakukan debirokratisasi dan membangun akuntabilitas dan trasparansi BUMN. Kepemilikan saham BUMN sebaiknya segera didistribusikan kepada para karyawan,k onsumen, dan kepada pemerintah daerah tempat masing-masing perusahaan melaksanakan kegiatannya. Untuk meningkatkan kemampuan BUMN dalam mengemban misinya perlu pula ditopang dengan pembentukan Badan Pengembangan BUMN yang bersifat independen.

Sesuai dengan amanat UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (UUPropenas), strategi reformasi BUMN tersebut harus dituangkan dalam Undang-Undang (UU)BUMN yang bersifat komprehensif. Melalui UU BUMN tersebut akan menjabarkan mengenai sistem ekonomi kerakyatan dan untuk meletakkan dasar-dasar kebijakanpengelolaan BUMN seperti yang diamanatkan konstitusi (UUD 1945). Selanjutnya UU BUMN juga akan menjadi acuan dalam melaksanakan reformasi BUMN pada masa yang akan datang.

Berdasarkan uraian diatas, Rancangan Undang-Undang (RUU) BUMN yang saat ini tengah dibahas DPR, secara substansi telah gagal menjalankan amanat konstitusi dan UU Propenas. Karena pada dasarnya draf RUU BUMN tersebut hanya membicarakan tiga hal, yaitu tentang persero, perum dan privatisasi. Dalam pasal-pasalnya, tidak menjelaskan apapun soal BUMN mana yang masuk kualifikasi pelayanan umum dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Menurut pasal-pasal dalam RUU BUMN ini kekuasaan atas pengelolaan BUMN berada ditangan Menteri. Kekuasaan tersebut mencakup sebagai RUPS yang bisa mengangkat dan memberhentikan Komisaris dan Direksi BUMN. Dengan demikian praktek pengelolaan BUMN tetap berjalan sebagaimana yang berlaku selama ini. Praktek tersebut adalah praktek memanfaatkan BUMN hanya untuk kepentingan kelompok yang berkuasa. Praktek ini akan melestarikan politik uang yang selama ini tampaknya sudah lazim belaku dalam pengelolaan BUMN kita.

Munculnya Bab Privatisasi dalam RUU BUMN, semakin menguatkan keyakinan bahwa aktor utama dibalik RUU BUMN yang sedang dibahas oleh DPR saat ini adalah International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB).Hal ini mengingat bahwa selama ini privatisasi selalu mengundang perlawanan baik dari dalam BUMN sendiri (melalui serikat pekerja maupun direksi) maupun perlawanan rakyat luas.

Kebijakan IMF dan WB dalam memberikan utang kepada pemerintahan Indonesia pada periode belakangan ini, terutama setelah adanya Letter of Inten (LoI) antara Pemerintah Indonesia dan IMF, mensyaratkan adanya privatisasi atas BUMN yang dinilai memiliki nilai ekonomis.Menurut kedua lembaga ini, privatisasi merupakan jalan keluar untuk mengatas masalah BUMN dalam meningkatkan performanya. Alih-alih meningkatkan manfaat BUMN bagi negara, dengan adanya privatisasi justru merugikan negara dalam jumlah triliunan rupiah.

Selain kerugian itu, negara juga terancam kehilangan sumber-sumber penerimaan yang selama ini ikut menopang anggaran negara (APBN). Kesempatan ini juga digunakan oleh IMF dan WB beserta konco-konconya untuk menjarah kekayan Bangsa Indonesia.Sejalan dengan itu, para rent seeker, juga ikut ambil bagian dalam proses rampokisasi ini. Atau dengan kata lain fakta yang terjadi selama ini justru menunjukkan betapa BUMN lebih banyak dijadikan sebagai sapi perahan buat para pejabat negara yang sedang berkuasa.

Dengan penggunaan teori principal-agent maka nuansa politis sangat kental dalam BUMN, dikarenakan manajemen perusahaan tidak harus tunduk dan loyal kepada pemilik saham. Berbagai kepentingan politik aktif bermain, yang ujung-ujungnya menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh politisi. Celakanya, para petinggi perusahaan itu juga cenderung menikmati perahan tadi dan  mereka juga kebagian hasil yang tidak kecil. Alhasil, kebanyakan BUMN yang ada menjadi sakit dan fakta itu bertahan sepanjang sejarah adanya BUMN di negeri ini.


Daftar Pustaka :
  1. http://www.anneahira.com/artikel-umum/bumn.htm
  2. http://putracenter.net/2009/11/10/definisi-dan-fungsi-privatisasi-bumn-dalam-perekonomian/
  3. http://www.scribd.com/doc/74986937/Kerugian-Privatisasi-Bumn
  4. http://sambelalab.wordpress.com/2010/11/09/pemerintahan-megawati-privatisasi-bumn-ke-tangan-asing-2001-2004/

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!