Oleh
Rezeki
Putri Nainggolan
|
Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan. Hal tersebut secara eksplisit disebutkan
dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.
Kementerian
Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan transformasi dari unit kerja
Eselon II Depkeu (1973-1993) yang kemudian menjadi unit kerja Eselon I
(1993-1998 dan 2000-2001). Tahun 1998-2000 dan tahun 2001 sampai sekarang, unit
kerja tersebut menjadi Kementerian BUMN.
Pasca
krisis moneter tahun 1978, pemerintah giat melakukan privatisasi karena privatisasi dianggap
membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh
para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada
publik.
Dalam sistem perekonomian nasional, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
memiliki peran yang sangat strategis. Keberadaan BUMN tidak bisa disamakan
dengan dengan peran perusahaan swasta. Karena BUMN merupakan instrumen
penyeimbang bagi negara untuk menjamin bekerjanya mekanisme ekonomi yang
selaras dengan kepentingan sosial.
Kemampuan BUMN dalam mengemban misi
dan tujuannya tersebut mendapat sorotan yang memberikan penilaian bahwa kinerja
BUMN masih jauh dari memuaskan. Hal ini terutama disebabkan oleh tidak
adanya konsep yang jelas dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dalam menyelenggarakan BUMN. Karena itu pulalah BUMN cenderung dimanfaatkan
oleh mereka yang berkuasa.
Berdasarkan uraian di atas maka bangsa ini sebenarnya
membutuhkan strategi yang tepat dalam mereformasi pengelolaan BUMN. Strategi
reformasi tersebut adalah dengan melakukan debirokratisasi dan membangun
akuntabilitas dan trasparansi BUMN. Kepemilikan saham BUMN sebaiknya segera
didistribusikan kepada para karyawan,k onsumen, dan kepada pemerintah
daerah tempat masing-masing perusahaan melaksanakan kegiatannya. Untuk meningkatkan
kemampuan BUMN dalam mengemban misinya perlu pula ditopang dengan pembentukan
Badan Pengembangan BUMN yang bersifat independen.
Sesuai dengan amanat UU No. 25/2000
tentang Program Pembangunan Nasional (UUPropenas), strategi reformasi BUMN
tersebut harus dituangkan dalam Undang-Undang (UU)BUMN yang bersifat komprehensif. Melalui UU BUMN tersebut akan menjabarkan mengenai sistem ekonomi kerakyatan dan
untuk meletakkan dasar-dasar kebijakanpengelolaan BUMN seperti yang diamanatkan
konstitusi (UUD 1945). Selanjutnya UU BUMN juga akan menjadi acuan dalam
melaksanakan reformasi BUMN pada masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian diatas, Rancangan
Undang-Undang (RUU) BUMN yang saat ini tengah dibahas DPR, secara
substansi telah gagal menjalankan amanat konstitusi dan UU Propenas.
Karena pada dasarnya draf RUU BUMN tersebut hanya membicarakan tiga hal, yaitu
tentang persero, perum dan privatisasi. Dalam pasal-pasalnya, tidak menjelaskan
apapun soal BUMN mana yang masuk kualifikasi pelayanan umum dan menguasai
hajat hidup orang banyak.
Menurut pasal-pasal dalam RUU BUMN
ini kekuasaan atas pengelolaan BUMN berada ditangan Menteri. Kekuasaan
tersebut mencakup sebagai RUPS yang bisa mengangkat dan memberhentikan Komisaris
dan Direksi BUMN. Dengan demikian praktek pengelolaan BUMN tetap berjalan
sebagaimana yang berlaku selama ini. Praktek tersebut adalah praktek
memanfaatkan BUMN hanya untuk kepentingan kelompok yang berkuasa. Praktek ini
akan melestarikan politik uang yang selama ini tampaknya sudah lazim belaku
dalam pengelolaan BUMN kita.
Munculnya Bab Privatisasi dalam RUU
BUMN, semakin menguatkan keyakinan bahwa aktor utama dibalik RUU BUMN yang
sedang dibahas oleh DPR saat ini adalah International Monetary Fund (IMF)
dan World Bank (WB).Hal ini mengingat bahwa selama ini privatisasi selalu
mengundang perlawanan baik dari dalam BUMN sendiri (melalui serikat pekerja
maupun direksi) maupun perlawanan rakyat luas.
Kebijakan IMF dan WB dalam
memberikan utang kepada pemerintahan Indonesia pada periode belakangan ini,
terutama setelah adanya Letter of Inten (LoI) antara Pemerintah Indonesia dan
IMF, mensyaratkan adanya privatisasi atas BUMN yang dinilai memiliki nilai
ekonomis.Menurut kedua lembaga ini, privatisasi merupakan jalan keluar untuk
mengatas masalah BUMN dalam meningkatkan performanya. Alih-alih meningkatkan
manfaat BUMN bagi negara, dengan adanya privatisasi justru merugikan negara
dalam jumlah triliunan rupiah.
Selain kerugian itu, negara juga
terancam kehilangan sumber-sumber penerimaan yang selama ini ikut menopang
anggaran negara (APBN). Kesempatan ini juga digunakan oleh IMF dan WB
beserta konco-konconya untuk menjarah kekayan Bangsa Indonesia.Sejalan dengan
itu, para rent seeker, juga ikut ambil bagian dalam proses rampokisasi ini.
Atau dengan kata lain fakta yang terjadi
selama ini justru menunjukkan betapa BUMN lebih banyak dijadikan sebagai sapi
perahan buat para pejabat negara yang sedang berkuasa.
Dengan
penggunaan teori principal-agent maka nuansa politis sangat kental
dalam BUMN, dikarenakan manajemen perusahaan tidak harus tunduk dan loyal
kepada pemilik saham. Berbagai kepentingan politik aktif bermain, yang
ujung-ujungnya menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh politisi. Celakanya, para
petinggi perusahaan itu juga cenderung menikmati perahan tadi dan mereka
juga kebagian hasil yang tidak kecil. Alhasil, kebanyakan BUMN yang ada menjadi
sakit dan fakta itu bertahan sepanjang sejarah adanya BUMN di negeri ini.
Daftar
Pustaka :
- http://www.anneahira.com/artikel-umum/bumn.htm
- http://putracenter.net/2009/11/10/definisi-dan-fungsi-privatisasi-bumn-dalam-perekonomian/
- http://www.scribd.com/doc/74986937/Kerugian-Privatisasi-Bumn
- http://sambelalab.wordpress.com/2010/11/09/pemerintahan-megawati-privatisasi-bumn-ke-tangan-asing-2001-2004/
0 comments:
Post a Comment