Oleh Muhammad Reza |
Secara
umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank)
adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.
Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain
istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah
(Shari’a Bank).
Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis
penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang
secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Fungsi
Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni
sebagai lembaga intermediasi (intermediary
institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya
dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis
keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila
bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank
Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau
profit margin, serta bagi hasil (loss
and profit sharing).
Di samping
dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya
dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya
Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan
perdagangan (trading).
Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan
investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang
dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa
iqtina (sewa beli)
dan lain-lain.
Konsep
negara hukum yang tercantum dalam konstitusi Indonesia memberikan
dampak terhadap subjek hukum baik warga negara atau badan hukum, sehingga
setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum wajib
memiliki dasar hukum, mengikuti hukum yang berlaku, dan tidak melanggar peraturan-peraturan
yang ada. Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis
dan heirarki Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan sumber hukum di
Indonesia, baik materiil maupun formil, adalah sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah
Berdasarkan
substansi pasal di atas, perbankan syariah dalam menjalankan aktivitasnya wajib
menggunakan heirarki Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar hukum serta
beberapa peraturan dari instansi tertentu yang terkait secara langsung terhadap
bank syariah
Bank
syariah berdiri pertama kali di Indonesia sekitar tahun 1992 didasarkan pada
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagai landasan hukum bank dan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip bagi hasil
sebagai landasan hukum Bank Umum Syariah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73
tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai landasan
hukum Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Sesuai dengan perkembangan perbankan
maka Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan disempurnakan dengan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
tahun1992 tentang perbankan dan juga tercakup hal-hal yang berkaitan dengan
perbankan syariah.
Selain
itu, yang dimaksud dengan prinsip syariah dijelaskan pada Pasal 1 butir 13
Undang-undang tersebut, yakni sebagai berikut :
Prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan
berdasarkan prisip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 maka Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1992 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1998 sebagai tindak lanjut dari Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan mengeluarkan beberapa ketentuan berkaitan dengan perbankan syariah, yaitu Bank Umum Syariah, BPR Syariah, dan Bank Konvensional.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 maka Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1992 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1998 sebagai tindak lanjut dari Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan mengeluarkan beberapa ketentuan berkaitan dengan perbankan syariah, yaitu Bank Umum Syariah, BPR Syariah, dan Bank Konvensional.
0 comments:
Post a Comment