Friday, June 8, 2012


Oleh
Ade Tri Putra
Saat ini sedang marak-maraknya gugat-menggugat hak paten, dan telah menjadi tren mendunia. Dahulu, bahkan sampai sekarang, pencakar teknologi, yaitu apple dan samsung berebut tentang paten. Mereka saling memperebutkan hak atas tehknologi tersebut dan mengklaim tehknologi tersebut bahwa milik salah satu dari mereka.

Kasus selanjutnya yaitu pada Oracle, Oracle menggugat hak paten kepada Google (8/2010). Gugatan Oracle terhadap Google yaitu pada penggunaan Java pada sistem Android. Oracle menuntut Google karena telah merasa dirugikan sekitar 6,1 miliar dollar AS. Namun menurut Google sistem Google Android tidak mengambil hak paten Java. Pihak Google mengatakan hak telah diperoleh ketika membeli Sun Microsystems pada tahun 2010. "Itu tidak melanggar paten Oracle," ujar pihak Google.

RIM, Apple dan Samsung digugat karena Hak Paten layar sentuh. Gugatan ini berasal dari sebuah perusahaan di Texas tengah. Dasar gugatan ini diyakini diajukan oleh patent roll, yakni sebuah perusahaan yang memperoleh keuntungan dengan cara membeli patent dari perusahaan – perusahaan kecil yang kemudian digunakan untuk menggugat perusahaan-perusahaan raksasa. Perusahaan ini menggugat di negara bagian yang memiliki kekuatan hukum yang menguntungkan bagi mereka.


Perusahan China vs Apple. Kata “iPad” sudah terdengar sangat bagus ditelinga masyarakat dan pasti sudah berujung ke Apple. Namun berbeda dengan situasi di China. Merk iPad di China merupakan hak merk dagang sah milik perusahaan asal Shenzen, China, Proview Internasional. Perseteruan antara perusahaan China dengan Apple berakhir dengan kemenangan perusahaan China dan penyitaan komputer tablet milik Apple yang bermerk iPad tersebut.

Saat ini Yahoo, perusahaan yang sedang berusaha naik kembali telah menggugat Facebook yang merupakan mitranya sendiri atas sistem iklan untuk web dan nilainya ditaksir sekitar USD100 miliar. Sebuah angka yang cukup besar yang dapat menghidupkan kembali Yahoo jika ia memenangkan patennya tersebut. Namun Facebook tidak tinggal diam, Facebook telah melakukan serangan balik dengan menggugat 10 pelanggaran hak paten. Gugatan ini datang ketika Yahoo sedang masa krisis, pendapatan Yahoo terus saja menurun.
Saat kami mengajukan gugatan paten, kami juga merespon sempitnya sudut pandang Yahoo yang menyerang salah satu rekan mereka, dan memprioritaskan gugatan di atas inovasi," ujar Konsulat Jenderal Facebook, Ted Ullyot.

Menurut saya gugatan-gugatan tersebut hanya lah ingin memperoleh laba yang lebih. Jika ada yang meniru, hal tersebut wajar saja. Bayangkan jika sistem ditiap perusahaan berbeda jauh, maka masyarakat atau konsumen akan merasa bingung. Tidak apa jika memiliki fitur yang sama, hal ini akan menghindari monopoli pasar yang hanya akan merusak perekonomian. Jika memiliki fitur yang sama namun pasti memiliki source code atau sumber kode yang berbeda, namun jika sama maka hal yang sewajarnya untuk di gugat.

Dari contoh contoh kasus tersebut timbul pertanyaan "Bagaimana sih peraturan hak paten sebenarnya?", "Apa sih keunggulan hak paten tersebut ?". Selanjutnya kita akan bahas mengenai peraturan-peraturannya.

Peraturan Hak Paten di Indonesia

Hak cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.

Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.

Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.

Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.

Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).

Peraturan Hak Paten Dunia

Sebelum menuju peraturan hak paten dunia ada baiknya kita mengenal sejarahnya, yaitu di abad pertengahan, penerbit hanya mengenal konsep kepemilikan sebuah karya (dalam hal ini buku) dan sama sekali belum memberikan perlindungan terhadap hak-hak para penulis. Sehingga jika seseorang ingin menyalin sebuah buku, yang ia harus lakukan adalah meminjam dan membayar kepada sang pemilik buku. Saat itu belum terbersit sedikit pun untuk memberikan kompensasi kepada pengarang/ penulis buku. 
  
Dunia penerbitan belum berkembang dengan pesat. Hampir semua reproduksi buku dan karya-karya monumental dilakukan oleh pihak gereja. Di tahun 1440, terjadilah revolusi dalam dunia penerbitan, yang ditandai dengan diciptakannya mesin cetak jenis moveable oleh Johannes Gutenberg. Mesin ciptaan Gutenberg mampu menghasilkan tidak hanya ratusan tetapi ribuan eksemplar per hari. Di abad XV hal ini dianggap sangat fenomenal, mengingat reproduksi buku adalah sebuah kegiatan yang sangat mahal dan sangat lama (karena harus dilakukan secara manual oleh manusia).

Hak paten belum dikenal hingga tahun 1770. Pada tahun tersebut, Parlemen Britania Raya menetapkan sebuah undang-undang yang memiliki tujuan utama melindungi hak-hak para penulis dan penerbit. Beberapa bagian dari undang-undang tersebut memiliki banyak kesamaan dengan undang-undang hak cipta di masa kini, misalnya pengakuan terhadap hak-hak pengarang/ penulis, jangka waktu berlaku hak cipta selama 28 tahun, kewajiban bagi penulis untuk mendaftarkan secara terbuka klaim mereka atas karya yang dihasilkan, dan sebagainya.

Tahun 1787 merupakan tonggak bersejarah berikutnya bagi perkembangan hak cipta. Pemerintah AS kala itu menetapkan dalam Konstitusi AS bahwa Kongres memiliki kewenangan untuk memberikan hak eksklusif terhadap para penulis dan penemu sehubungan dengan tulisan serta temuan mereka.Tiga tahun kemudian (1790), hukum hak cipta pertama disahkan. Undang-undang hak cipta AS ini memiliki banyak kemiripan dengan undang-undang serupa yang sebelumnya diterbitkan di Britania Raya. Sayangnya undang-undang tersebut hanya melindungi barang-barang cetak dan belum menyentuh komoditas lainnya, contohnya musik. UU Hak Cipta pertama ini juga telah menerapkan hukuman bagi para pelanggar, misalnya penyitaan dan kewajiban membayar sejumlah uang sebagai denda.

Beberapa tokoh pendukung penegakan hukum hak cipta ialah Noah Webster, James Madison, George Washington, serta Thomas Edison. Webster menyusun beberapa buku terkenal seperti The American Spelling Book 1783 dan The American Dictionary of the English Language. Sementara itu, James Madison, George Washington, dan Thomas Edison adalah beberapa jurnalis produktif yang turut serta dalam usaha Noah Webster untuk menuntut perlindungan terhadap hak-hak pengarang/ penulis.

Sepanjang abad XX, hak cipta yang semula hanya meliputi barang cetak telah diperluas cakupannya menjadi foto, rekaman musik (yang tidak hanya mencakup komposisinya), piranti lunak komputer, serta karya arsitektur.          

Pada tahun 1976 ditetapkan sebuah undang-undang baru yang bernama Copyright Act of 1976.Di dalam UU tersebut disebut sebuah istilah bernama "fair use" (penggunaan yang adil). Istilah ini mengacu kepada pembuatan salinan atau pengutipan karya orang lain dalam koridor kebebasan berbicara dan demi meningkatkan  wacana intelektual. Menyalin karya orang lain selama tidak melebihi setengah lusin eksemplar (maksimal 6 eksemplar) tidak dianggap pelanggaran hak cipta dan hanya digolongkan sebagai penggunaan yang adil (fair use). Penggunaan yang adil juga dapat dilakukan oleh perpustakaan dan lembaga-lembaga arsip yang membuat salinan dengan tujuan untuk memperbanyak karya tersebut hingga dapat mempublikasikannya ke masyarakat umum.

Di tahun 1998, seiring dengan perkembangan teknologi dan naiknya pamor internet, Kongres AS memperbaharui perangkat hukum hak cipta dengan menerbitkan UU baru bernama "the Digital Millenium Copyright Act". Di masa kini hak cipta tidak hanya melindungi dari pelanggaran yang tampak nyata dan jelas tetapi juga usaha untuk menyalin atau usaha lain untuk membuat reproduksi/ salinan dari gaya atau penampilan secara umum dari suatu sampul majalah atau layar komputer.

Lantas, bagaimana dengan peraturan Internasional? Ya, untuk pertanyaan ini jawabannya ialah peraturan yang di pakai ialah dimana barang tersebut di edarkan alias hanya akan memakai peraturan daerah dimana tempat ia diedarkan atau hanya memakai peraturan daerah tempat asal atau tempat di edarkannya.
Keunggulan hak paten tersebut ialah memiliki beberapa hak, yakni :
  1. Hak eksklusif
  2. Hak ekonomi dan hak moral
Hak Eksklusif

Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
  • membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
  • mengimpor dan mengekspor ciptaan,
  • menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
  • menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
  • menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.


Yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.

Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”.

Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula “hak terkait”, yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.

Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).

Hak Ekonomi dan Hak Moral


Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.


Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan[2].

Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-Undang Hak Cipta.

Sumber :
  1. http://teknologi.vivanews.com/news/read/301735-serangan-balik--facebook-gugat-yahoo
  2. http://infosifacebook.blogspot.com/2012/03/yahoo-gugat-facebook.html
  3. http://shuba.web.id/shuba/?p=584
  4. http://www.hargabb.com/rim-apple-dan-samsung-digugat-karena-paten-layar-sentuh/
  5. http://www.masrahmat.com/2012/04/melanggar-hak-paten-oracle-gugat-google.html
  6. http://inagist.com/all/192476792475492352/
  7. http://ciputraentrepreneurship.com/edukasi/2575-sejarah-hak-paten-dunia.html
  8. http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta





0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!