Oleh Lelis Mc |
Perjanjian jual-beli merupakan jenis perjanjian timbal balik
yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang
membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk
melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana umumnya, perjanjian
merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana
para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang mereka
buat.
Akan tetapi kebebasan dalam membuat suatu perjanjian itu
akan menjadi berbeda bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas yang
melibatkan para pihak dari negara dengan sistem hukum yang berbeda.
Masing-masing negara memiliki ketentuan tersendiri yang bisa jadi berbeda satu
dengan lainnya. Perbedaan tersebut tentu saja akan mempengaruhi bentuk dan
jenis perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berasal dari dua negara yang
berbeda tersebut karena apa yang diperbolehkan oleh suatu sistem hukum negara
tertentu ternyata dilarang oleh sisten hukum negara lainnya.
Suatu jenis perjanjian jual-beli barang dibuat untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Perjanjian tersebut akan meliputi subyek dan obyek perjanjian, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian dan upaya hukum yang tersedia bagi para pihak apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.
Dari uraian diatas, maka sebagai identifikasi pokok
permasalahan dalam perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual
beli barang antara ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerd) dan The Untited Nations Convention on Contract for
the International Sale Goods (CISG).
Dalam pasal 1457 KUHPerd disebutkan bahwa jual-beli adalah
suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan,dan pihak yang satu lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.
Jadi pengertian jual-beli menurut KUHPerd adalah suatu
perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli)
untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut (Subekti, 1995: 1).
Perjanjian jual-beli dalam KUHPerd menentukan bahwa obyek
perjanjian harus tertentu, atau setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya
pada saat akan diserahkan hak milik atas atas barang tersebut kepada pembeli.
Sementara itu, KUHPerdata mengenal tiga macam barang yaitu
barang bergerak, barang tidak bergerak (barang tetap), dan barang tidak
berwujud seperti piutang, penagihan, atau claim.
Penjual memiliki dua kewajiban utama yaitu menyerahkan hak
milik atas barang dan barang menanggung kenikmatan tenteram atas barang
tersebut dan menanggung cacat tersembunyi. Sebaliknya embeli memiliki hak atas
pembayaran harga barang, hak untuk menyatakan pembatalan berdasarkan pasal 1518
KUHPerd dan hak reklame.
Pembeli berkewajiban membayar harga barang sebagai imbalan
haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.
Pembayaran harga dilakukan pada waktu dan tempat yang ditetapkan dalam
perjanjian.
Harga tersebut harus berupa uang. Meski mengenai hal ini
tidak ditetapkan oleh undang-undang namun dalam istilah jual-beli sudah
termaktub pengertian disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang
(Subekti, 1995: 21).
Ketentuan CISG hanya mengatur secara khusus mengenai
kewajiban para pihak sebagaimana ditentukan dalam bab II tentang kewajiban
penjual dan bab III yang menyebutkan tentang kewajiban pembeli. Secara timbal
balik dapat disimpulkan bahwa kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli
demikian pula sebaliknya.
Kewajiban Penjual Menurut CISG adalah Menyerahkan
barang-barang, dokumen-dokumen, sebagaimana diperlukan dalam kontrak (pasal
30), Penjual harus menyerahkan barang-barang sesuai dengan jumlah, kualitas dan
persyaratan yang ditentukan dalam kontrak (pasal 35 ayat 1), Penjual harus
menyerahkan barang-barang yang bebas dari tuntutan dan hak pihak ketiga kecuali
pembeli menyetujui untuk mengambil barang-barang tersebut (pasal 41), Jika
penjual tidak tidak terikat untuk menyerahkan barang-barang di tempat yang
ditentukan maka kewajibannya adalah menyerahkan barang-barang kepada pengangkut
pertama untuk diserhkan barang-barang kepada pengangkut pertama untuk
diserahkan kepada pembeli (pasal 31 sub a), Penjual harus menyerahkan
barang-barang:
a) pada tanggal yang ditentukan.
b) dalam jangka waktu yang ditentukan.
c) dalam jangka waktu yang wajar
(reasonable) setelah pembuatan kontrak (pasal 33).
Kewajiban Pembeli Menurut CISG adalah Pembeli harus membayar
harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan peraturan-peraturan (pasal
53-54), Jika pembeli tidak terikat untuk membayar harga di suatu tempat
tertentu maka pembeli harus membayarnya ditempat dimana penyerahkan barang dan
dokumen dilakukan (pasal 57 ayat 1), Pembeli harus membayar harga barang pada
tanggal yang telah ditentukan dalam kontrak (pasal 59), Jika waktu pembayaran tidak
ditentukan secara pasti maka pembeli harus membayar nya ketika penjual
menempatkan barang-barang di tempat penyimpanan pembeli (pasal 59 ayat 1).
Dalam CISG
upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam hal terjadi sengketa pada
pelaksanaan perjanjian dibagi dalam tiga kategori yaitu dalam hal breach
of contract, fundamental contract, dan anticipatory breach. Dalam
KUHPerd upaya hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual-beli diatur dalam
pasal 1236-1243 KUHPerd dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus
yang masing-masing memiliki konsekuensi dan durasi pengajuan gugatan yang berbeda.
Sedangkan gugatan ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUHPerd.
Menurut
pasal 72 CISG apabila sebelum tanggal penyerahan kontrak telah menjadi jelas
bahwa salah satu pihak akan melakukan suatu pelanggaran yang mendasar terhadap
perjanjian maka pihak lainnya dapat menyatakan perjanjian sebagai dibatalkan
dengan pemberitahuan.
Dalam hal
penyerahan barang secara angsuran adanya kegagalan pihak lawan untuk
melaksanakan kewajibannya merupakan suatu pelanggaran mendasar dan karena itu
dapat dimintakan pembatalan perjanjian. Namun demikian menurut CISG, tindakan
avoidance tidak diberlakukan untuk seluruh isi perjanjian. Berdasarkan
ketentuan pasal 81 CISG, avoidance tidak berlaku atas ketentuan mengenai
sengketa, ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat
avoidance, dan pihak yang telah melaksanakan perjanjian baik secara keseluruhan
atau sebagian berhak menuntut ganti kerugian.
Dalam
perjanjian obligatoir, senantiasa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh
salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat
dituntut oleh pihak lain.
Pihak yang
berhak menuntut disebut pihaak berpiutang atau kreditor dan pihak yang berwajib
memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak berhutang atau debitor. Sebaliknya, sesuatu
yang dapat dituntut disebut dengan istilah prestasi.
Prestasi
dalam KUHPerd dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu menyerahkan suatu barang,
melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Jika
seorang debitor tidak memenuhi kewajibannya, menurut hukum debitor tersebut
dikatakan wanprestasi yang menyebabkannya dapat digugat di depan hakim.
Demikian
seorang dapat dinyatakan wanprestasi manakala yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi prestasi dan tidak terlaksananya
kewajiban tersebut karena kelalaian atau kesengajaan.
Ketentua
mengenai keadaan memaksa tersebut dalam KUHPerd dapat ditemui dalam pasal 1244
dan 1245 KUHPerd. Kedua pasal itu dimaksudkan untuk melindungi pihak debitor
yang telah beritikad baik.
Halangan
debitor untuk melaksanakan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa secara
teoritis dapat dibedakan antara keadaan memaksa mutlak dan tidak mutlak.
Dalam
perjanjian obligatoir seperti perjanjian jual-beli senantiasa terdapat suatu
kewajiban oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang
pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak lain. CISG maupun KUHPerd masing-masing
memberikan beberapa upaya hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam hal
terjadi pelanggaran atas perjanjian jual-beli, yaitu:
1. Meminta pelaksanaan perjanjian;
2. Meminta pembatalan perjanjian;
3. Meminta ganti kerugian termasuk
kerugian akibat kehilangan keuntungan.
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian jual-beli
internasional dalam CISG maupun perjanjian dalam KUHPerd menganut sistem
terbuka dimana para pihak bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian (vide
pasal 6 jo pasal 12 CISG dan pasal 1338 KUHPerd). Ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam CISG maupun KUHPerd dapat dipilih sebagai dasar hukum dari
perjanjian yang dibuat para pihak atau sebagai pelengkap jika para pihak
menentukan sendiri bentuk dan isi perjanjiannya.
Oleh karena itu para pihak sepatutnya memperhatikan bentuk
dan isi perjanjian secara detail termasuk ketentuan yang mengatur tentang
sengketa diantara mereka. Ketentuan tersebut sangat urgen untuk menjamin
kepentingan hukum mereka dan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi kerugian
yang akan timbul jika terjadi pelanggaran perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA
- Hamzah Rasyid, 1998, “Kontrak dalam Jual-Beli Barang Internasional”
dalam Seri Dasar Hukum Ekonomi: Jual-Beli Barang secara Internasional,
ELIPS dan FH-UI, Jakarta.
- Subekti 1990, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
- Subekti 1995, Aneka Perjanjian, Cipta Aditya Bakti,
Bandung.
- The United Nations Convention on Contract for
International sale Goods (CISG).
- Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
- wonkdermayu.wordpress.com/artikel/upaya-hukum-bagi-para-pihak-dalam-perjanjian-jual-beli-barang/
- repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19610/6/Cover.pdf
- elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf
0 comments:
Post a Comment