Oleh Lestayana |
UUPK (Undang Undang Perlindungan Konsumen) bukan satu-satunya hukum yang
mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum disahkannya UUPK
pada dasarnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang materinya
melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal 202-205 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya (1949), Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan
sebagainya. Lahirnya UUPK diharapkan menjadi payung hukum (umbrella act)
di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan
perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap
konsumen.
Adanya perlindungan hukum bagi nasabah
selaku konsumen di bidang perbankan menjadi urgen, karena secara faktual
kedudukan antara para pihak seringkali tidak seimbang. Perjanjian
kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang seharusnya dibuat
berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah menjadi
perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar (bargaining
position) dalam hal ini adalah pihak bank. Nasabah tidak mempunyai pilihan
lain, kecuali menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank
(take it or leave it).
Pencantuman klausula-klausula dalam
perjanjian kredit/pembiayaan pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan,
karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah debitur kedua-duanya saling
membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya masing-masing.
Klausula yang demikian ketatnya
didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit/pembiayaan. Dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah
debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan direalisir sehingga dapat
dijadikan panduan dalam pemberian kredit. Di sisi lain pengadilan yang
merupakan pihak ketiga dalam mengatasi perselisihan antara bank dengan nasabah
debitur dapat menilai apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak
telah sesuai dengan yang disepakati dan tidak melanggar ketentuan
perundang-undangan.
Keberatan-keberatan terhadap perjanjian
standar antara lain adalah karena: (1) Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan
oleh salah satu pihak, (2) Tidak mengetahui isi dan syarat-syarat perjanjian
standar dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya, (3) Salah
satu pihak secara ekonomis lebih kuat, (4) Ada unsur “terpaksa” dalam
menandatangani perjanjian. Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah
demi efisiensi.
Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi
substansi UUPK untuk memberikan pengaturan mengenai ketentuan pencantuman
klausula baku, yaitu sebagai berikut:
1. Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggungjawab
pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan
yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa
kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
3. Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang
ini.
Dari ketentuan dalam Pasal 18 dimaksud
yang sangat terkait erat dan sering terjadi dalam perjanjian kredit/pembiayaan
yang diberikan oleh bank adalah ketentuan pada ayat (1) huruf g, yakni bahwa
bank menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
Walaupun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur
dalam UUPK, akan tetapi pada kenyataannya sering kali masih terjadi pelanggaran
sehingga akan merugikan kepentingan nasabah. Hal-hal yang
harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak
meminimalisir terjadinya kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk
perjanjian standar, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Memberikan peringatan secukupnya kepada
para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausula-klausula penting dalam
perjanjian.
2)
Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian
kredit/pembiayaan.
3) Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat
yang jelas.
4) Memberikan kesempatan yang cukup bagi
debitur untuk mengetahui isi perjanjian.
Dengan kerjasama yang baik antara pihak
bank dengan nasabah, khususnya dalam hal adanya perjanjian standar mengenai
kredit atau pembiayaan, serta pembukaan rekening di bank maka diharapkan akan
lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga dapat
meminimalisir dispute yang berkepanjangan di kemudian hari.
DAFTAR
PUSTAKA
2. Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi
Konsumen, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 19-20
3. Erman
Rajagukguk, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar
Maju.
0 comments:
Post a Comment