Oleh Chairunnisa |
Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang
mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Dan usaha
yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998
pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil
dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan
perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.”
Sudah
sejak dahulu Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengambil peranan aktif dalam
perekonomian di Indonesia. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia sekitar
tahun 1997, UKM tetap bertahan bahkan peranannya semakin meningkat dan terlihat
sangat jelas dalam perekonomian Indonesia. Pada saat itu bentuk usaha inilah
yang paling cepat pulih dari krisis ekonomi dibandingkan dengan usaha-usaha
skala besar yang banyak terpuruk pada saat itu.
Dari sekian banyak UKM yang
berkembang di Indonesia dan tidak hanya terbatas pada bidang-bidang usaha yang
telah disebutkan sebelumnya tersebut, keberadaan UKM tidak terlepas dari
keterkaitannya dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Dimulai dari produk yang
dihasilkan dari kegiatan usaha UKM, teknologi yang digunakan, desain dari
setiap produk yang dihasilkan, maupun penggunaan merek dagang ataupun merek
jasa untuk kepentingan pemasaran.
Pemerintah coba meningkatkan
kesadaran usaha kecil menengah (UKM) terhadap pentingnya masalah hak kekayaan
intelektual (HKI). Apalagi, UKM yang bergerak dalam industri kreatif. Ini
dimaksudkan untuk melindungi UKM sehingga bisa berkembang pesat.
Sangat penting bagi UKM maupun
perusahaan lain untuk memanfaatkan HKI dalam pengembangan usahanya. Saat ini,
dengan adanya rezim HKI, ada lebih dari 60 juta teknologi yang bisa diakses free.
Jadi, pengusaha dapat mempelajari, memanfaatkan, lalu mengembangkan. Setelah
itu, daftarkan patennya.
Pada 2008 jumlah hak paten di
Indonesia sekitar 7,5 persen. Masih lebih rendah dibandingkan negara-negara
lain yang mematenkan hasil penelitiannya, seperti Thailand 20 persen dan
Tiongkok 50 persen.
Untuk mengetahui apakah
diperlukannya perlindungan HKI terhadap UKM yang ada, maka kita perlu terlebih
dahulu memahami apa saja potensi yang ada dalam suatu kegiatan usaha UKM.
Secara global, potensi HKI yang ada dalam kegiatan usaha UKM diantaranya Hak
Cipta, Merek Dagang/Jasa, Desain Industri bahkan paten ataupun paten sederhana.
Sebagai contoh untuk UKM yang
bergerak dalam bidang industri sepatu, potensi HKI yang ada diantaranya Hak
Cipta Gambar untuk gambar-gambar dari desain sepatu-sepatu, perlindungan Desain
industri untuk desain sepatu tersebut, perlindungan merek dagang untuk merek
yang digunakan pada produk sepatu tersebut.
Bahkan paten apabila dalam
produksinya menggunakan teknologi dan alat-alat baru yang tidak pernah
dipergunakan oleh industri lainnya. Tentunya perlindungan HKI ini tidak selalu
sama untuk setiap kegiatan usaha UKM.
Perlindungan HKI Sangat
Penting
Mengapa perlindungan HKI
terhadap hasil karya dari UKM itu menjadi sangat penting? Tanpa kita sadari,
produk-produk yang diproduksi oleh UKM-UKM di Indonesia banyak yang bernilai
ekonomi tinggi dan memiliki keunikan terutama apabila sudah masuk dalam pasar
luar negeri.
Sementara itu, fasilitasi dari
pemerintah untuk membiayai pengurusan hak atas kekayaan intelektual (HaKI)
masih sangat kurang, sehingga merek dan desain logo yang dibangun UKM rawan
pembajakan/penjiplak-an.
UKM yang bermunculan itu
terutama bergerak di bidang industri dan menghasilkan produk bermerek. Menurut
dia, banyak pelaku UKM yang belum menyadari pentingnya melindungi produk dengan
hak cipta dan hak desain industri, dengan alasan tidak memiliki biaya.
Karena kita kurang peka dan
tidak memberikan perlindungan terhadap produk yang kita miliki, pada akhirnya
banyak dari produk-produk Indonesia khususnya produk-produk yang memiliki
nilai tradisional yang ide-ide dan desainnya ‘dicuri’ oleh pihak luar. Mungkin
kita tidak menyadari bahwa perlindungan HKI membawa nilai ekonomi yang tinggi
apabila sudah masuk dalam dunia perdagangan.
Suatu produk yang dilindungi HKI
hanya dapat diproduksi oleh si Pemilik atau Pemegang Hak atas produk tersebut
(eksklusif). Apabila ada pihak lain yang ingin memproduksinya tentunya harus
dengan seijin Pemegang Hak-nya, disinilah letak nilai ekonomi dari produk yang
telah dilindungi HKI.
Dimana pihak lain yang ingin
memproduksi barang yang sama berkewajiban mendapatkan lisensi terlebih dahulu
dari si Pemegang Hak dan membayar royalti atas penggunaan tersebut. Tindakan
produksi atas suatu produk yang telah dilindungi HKI tanpa seijin Pemegang Hak
merupakan pelanggaran dan pembajakan yang dapat membawa akibat hukum.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual (Ditjen HKI) bekerja sama dengan Japan International Cooperation
Agency (JICA) dengan dukungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
manusia Provinsi Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara menyelenggarakan Seminar
Keliling Mengenai Penegakan Hukum di Bidang Hak Kekayaan Intelektual di dua
tempat dalam waktu yang berdekatan yaitu pada tanggal 12-13 Maret 2012 di Hotel
Arya Duta Makassar, dan 15-16 Maret 2012 di Swiss Bell, Medan. Seminar ini
merupakan kegiatan yang rutin diselenggarakan Ditjen HKI dalam kurun waktu 10
tahun terakhir, diikuti oleh kurang lebih 50 peserta yang berasal dari kalangan
Akademisi, Peneliti dan Pelaku UKM.
Kegiatan yang diselenggarakan
setiap tahunnya ini bertujuan untuk mendukung pembangunan sistem HKI dengan
cara meningkatkan pemahaman dalam pengelolaan dan pemanfaatan HKI bagi kalangan
akademisi, peneliti dan pelaku UKM. Kurangnya pemahaman tentang arti penting
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di kalangan akademisi dan peneliti,
khususnya mereka yang berada di luar pulau Jawa, terlihat nyata dalam wujud
rendahnya angka permohonan HKI lokal, khusus untuk Paten, kurang dari 10% dari
total permohonan pertahun. Yang menyedihkan dari 10 % ini, sebagian besar
mereka hampir tidak mengetahui apa yang harus dilakukan setelah mengajukan
permohonan HKI. Akibatnya, permohonan mereka dianggap ditarik kembali, atau,
dalam kasus permohonan yang telah diberi paten, dianggap batal demi hukum
karena tidak/lalai membayar biaya pemeliharaan paten selama 3 tahun
berturut-turut.
0 comments:
Post a Comment