Saturday, May 26, 2012


Oleh
Chairunnisa
Kekayaan Intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya. Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya. Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual.

Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.”


Sudah sejak dahulu Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengambil peranan aktif dalam perekonomian di Indonesia. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia sekitar tahun 1997, UKM tetap bertahan bahkan peranannya semakin meningkat dan terlihat sangat jelas dalam perekonomian Indonesia. Pada saat itu bentuk usaha inilah yang paling cepat pulih dari krisis ekonomi dibandingkan dengan usaha-usaha skala besar yang banyak terpuruk pada saat itu.

Dari sekian banyak UKM yang berkembang di Indonesia dan tidak hanya terbatas pada bidang-bidang usaha yang telah disebutkan sebelumnya tersebut, keberadaan UKM tidak terlepas dari keterkaitannya dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Dimulai dari produk yang dihasilkan dari kegiatan usaha UKM, teknologi yang digunakan, desain dari setiap produk yang dihasilkan, maupun penggunaan merek dagang ataupun merek jasa untuk kepentingan pemasaran.

Pemerintah coba meningkatkan kesadaran usaha kecil menengah (UKM) terhadap pentingnya masalah hak kekayaan intelektual (HKI). Apalagi, UKM yang bergerak dalam industri kreatif. Ini dimaksudkan untuk melindungi UKM sehingga bisa berkembang pesat.

Sangat penting bagi UKM maupun perusahaan lain untuk memanfaatkan HKI dalam pengembangan usahanya. Saat ini, dengan adanya rezim HKI, ada lebih dari 60 juta teknologi yang bisa diakses free. Jadi, pengusaha dapat mempelajari, memanfaatkan, lalu mengembangkan. Setelah itu, daftarkan patennya.

Pada 2008 jumlah hak paten di Indonesia sekitar 7,5 persen. Masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain yang mematenkan hasil penelitiannya, seperti Thailand 20 persen dan Tiongkok 50 persen.
Untuk mengetahui apakah diperlukannya perlindungan HKI terhadap UKM yang ada, maka kita perlu terlebih dahulu memahami apa saja potensi yang ada dalam suatu kegiatan usaha UKM. Secara global, potensi HKI yang ada dalam kegiatan usaha UKM diantaranya Hak Cipta, Merek Dagang/Jasa, Desain Industri bahkan paten ataupun paten sederhana.

Sebagai contoh untuk UKM yang bergerak dalam bidang industri sepatu, potensi HKI yang ada diantaranya Hak Cipta Gambar untuk gambar-gambar dari desain sepatu-sepatu, perlindungan Desain industri untuk desain sepatu tersebut, perlindungan merek dagang untuk merek yang digunakan pada produk sepatu tersebut.

Bahkan paten apabila dalam produksinya menggunakan teknologi dan alat-alat baru yang tidak pernah dipergunakan oleh industri lainnya. Tentunya perlindungan HKI ini tidak selalu sama untuk setiap kegiatan usaha UKM.

Perlindungan HKI Sangat Penting

Mengapa perlindungan HKI terhadap hasil karya dari UKM itu menjadi sangat penting? Tanpa kita sadari, produk-produk yang diproduksi oleh UKM-UKM di Indonesia banyak yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki keunikan terutama apabila sudah masuk dalam pasar luar negeri.
Sementara itu, fasilitasi dari pemerintah untuk membiayai pengurusan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) masih sangat kurang, sehingga merek dan desain logo yang dibangun UKM rawan pembajakan/penjiplak-an.

UKM yang bermunculan itu terutama bergerak di bidang industri dan menghasilkan produk bermerek. Menurut dia, banyak pelaku UKM yang belum menyadari pentingnya melindungi produk dengan hak cipta dan hak desain industri, dengan alasan tidak memiliki biaya.

Karena kita kurang peka dan tidak memberikan perlindungan terhadap produk yang kita miliki, pada akhirnya banyak dari produk-produk Indonesia  khususnya produk-produk yang memiliki nilai tradisional yang ide-ide dan desainnya ‘dicuri’ oleh pihak luar. Mungkin kita tidak menyadari bahwa perlindungan HKI membawa nilai ekonomi yang tinggi apabila sudah masuk dalam dunia perdagangan.

Suatu produk yang dilindungi HKI hanya dapat diproduksi oleh si Pemilik atau Pemegang Hak atas produk tersebut (eksklusif). Apabila ada pihak lain yang ingin memproduksinya tentunya harus dengan seijin Pemegang Hak-nya, disinilah letak nilai ekonomi dari produk yang telah dilindungi HKI.

Dimana pihak lain yang ingin memproduksi barang yang sama berkewajiban mendapatkan lisensi terlebih dahulu dari si Pemegang Hak dan membayar royalti atas penggunaan tersebut. Tindakan produksi atas suatu produk yang telah dilindungi HKI tanpa seijin Pemegang Hak merupakan pelanggaran dan pembajakan yang dapat membawa akibat hukum.

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan dukungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia Provinsi Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara menyelenggarakan Seminar Keliling Mengenai Penegakan Hukum di Bidang Hak Kekayaan Intelektual di dua tempat dalam waktu yang berdekatan yaitu pada tanggal 12-13 Maret 2012 di Hotel Arya Duta Makassar, dan 15-16 Maret 2012 di Swiss Bell, Medan. Seminar ini merupakan kegiatan yang rutin diselenggarakan Ditjen HKI dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, diikuti oleh kurang lebih 50 peserta yang berasal dari kalangan Akademisi, Peneliti dan Pelaku UKM. 

Kegiatan yang diselenggarakan setiap tahunnya ini bertujuan untuk mendukung pembangunan sistem HKI dengan cara meningkatkan pemahaman dalam pengelolaan dan pemanfaatan HKI bagi kalangan akademisi, peneliti dan pelaku UKM. Kurangnya pemahaman tentang arti penting perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di kalangan akademisi dan peneliti, khususnya mereka yang berada di luar pulau Jawa, terlihat nyata dalam wujud rendahnya angka permohonan HKI lokal, khusus untuk Paten, kurang dari 10% dari total permohonan pertahun. Yang menyedihkan dari 10 % ini, sebagian besar mereka hampir tidak mengetahui apa yang harus dilakukan setelah mengajukan permohonan HKI. Akibatnya, permohonan mereka dianggap ditarik kembali, atau, dalam kasus permohonan yang telah diberi paten, dianggap batal demi hukum karena tidak/lalai membayar biaya pemeliharaan paten selama 3 tahun berturut-turut.

Sumber referensi:

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!