Oleh Roma Tua Pasaribu |
Di Indonesia franchise
dikenal sejak era 70-an ketika masuknya Shakey Pisa, KFC, Swensen dan Burger
King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai sekitar 1995. Data
Deperindag pada 1997 mencatat sekitar 259 perusahaan penerima franchise di
Indonesia. Setelah itu, usaha franchise mengalami kemerosotan karena terjadi
krisis moneter. Para penerima franchise asing terpaksa menutup usahanya karena
nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga 2000, franchise asing masih
menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan
politik yang belum stabil ditandai dengan perseteruan para elit politik. Barulah
pada 2003, usaha franchise di tanah air mengalami perkembangan yang sangat
pesat.
Frenchise dengan cepat
menjadi model yang dominan dalam mendistribusikan barang dan jasa di Amerika
Serikat. Menurut the Internasional Franchise Association, sekarang ini satu
dari 12 usaha perdagangan di Amerika Serikat adalah franchise. Franchising
kemudian berkembang dengan pesat karena metode pemasaran ini digunakan oleh
berbagai jenis usaha seperti restoran, bisnis retail, salon rambut, hotel,
dealer mobil, stasiun pompa besin dan sebagainya.
Kata franchise
sebenarnya berasal dari bahasa Perancis yang berarti bebas, atau lebih lengkap
lagi bebas dari perhambatan (freeform service). Dalam bidang bisnis franchise
berarti kebebasan yang diperoleh seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri
suatu usaha tertentu di wilayah tertentu. Dapat juga disebutkan bahwa franchise
adalah hubungan berdasarkan kontrak lisensi yang menimbulkan cara memasarkan
barang atau jasa dengan memberikan unsur kontrol tertentu kepada pemasok sebagai
imbalan yang diperoleh oleh pihak yang mendapat hak untuk menggunakan merk dan
nama barang franchisor.
Menurut the
International Franchise Association (IFA) mendefinisikan franchise sebagai
hubungan kontraktual antara franchisor dengan franchise, dimana franchisor
berkewajiban menjaga kepentingan secara kontinyu pada bidang usaha yang
dijalankan oleh franchisee misalnya lewat pelatihan, di bawah merek dagang yang
sama, format dan standar operasional atau kontrol pemilik (franchisor), dimana
franchisee menamankan investasi pada usaha tersebut dari sumber dananya
sendiri.
Dalam sistem waralaba
terdapat tiga komponen yaitu :
- Franchisor, yaitu Pihak yang memiliki sistem atau cara-cara dalam berbisnis.
- Franchisee, yaitu Pihak yang membeli waralaba atau sistem dari pemberi waralaba (franchisor)sehingga memiliki hak untuk mejalankan bisnis dengan cara-cara yang dikembAngkan oleh pemberi waralaba.
- Franchise, yaitu sistem dan cara-cara bisnis itu sendiri, ini merupakan pengetahuan atau spesifikasi usaha dari franchisor yang dijual kepada franchisee.
Masalah perlindungan
hukum bagi franchise timbul sehubungan dengan adanya kekhawatiran bahwa
franchisor akan memutuskan perjanjian akan menolak memperbaharui perjanjian dan
kemudian mendistribusikan sendiri produknya di wilayah franchise. Dalam hal ini
timbul perbedaan pendapat mengenai undang-undang yang mengatur pemutusan
perjanjian untuk melindungi kepentingan franchise. Hubungan hukum antara
franchisor dan franchise ditandai ketidak seimbangan kekuatan tawar-menawar atau
(unequel bergaining power).
Dasar hukum
penyelenggaraan waralaba atau franchising adalah kontrak kerja sama antara
franchisor sebagai induk perusahaan dengan franchise (agen atau perusahaan
penyalur). Perusahaan induk dapat saja membatalkan perjanjian tersebut apabila
perusahaan yang diajak kerjasama melanggar persyaratan yang telah ditetapkan
dalam persetujuan.
Dasar Hukum Franchise :
- Perjanjian sebagai dasar hukum KUH Perdata pasal 1338 (1), 1233 s/d 1456 KUH Perdata; para pihak bebas melakukan apapun sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kebiasan, kesopanan atau hal-hal lain yang berhubungan dengan ketertiban umum, juga tentang syarat-syarat sahnya perjanjian dsb.
- Hukum keagenan sebagai dasar hukum; KUH Dagang (Makelar & Komisioner), ketentuan-ketentuan yang bersifat administrative seperti berbagai ketentuan dari Departemen Perindustrian, Perdagangan dsb. Seringkali ditentukan dengan tegas dalam kontrak franchise bahwa di antara pihak franchisor dengan franchisee tidak ada suatu hubungan keagenan.
- Undang-undang Merek, Paten dan Hak Cipta sebagai dasar hukum; berhubung ikut terlibatnya merek dagang dan logo milik pihak franchisor dalam suatu bisnis franchise, apalagi dimungkinkan adanya suatu penemuan baru oleh pihak franchisor, penemuan dimana dapat dipatenkan. UU No.19 (1992) Merek, UU No 6 (1982) Paten, UU No.7 (1987) Hak Cipta.
- UU Penanaman Modal Asing sebagai dasar hukum; Apabila pihak franchisor akan membuka outlet di suatu Negara yang bukan negaranya pihak franchisor tersebut maka sebaiknya dikonsultasi dahulu kepada ahli hukum penanaman modal asing tentang berbagai kemungkinana dan alternative yang mungkin diambil dan yang paling menguntungkannya.
- Peraturan pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba maupun Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/1997 Tanggal 30 Juli 1997 disebutkan bahwa perjanjian waralaba harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
Beberapa keuntungan bagi Franchisor (perusahaan
induk) :
- Produk atau jasa terdistribusi secara luas tanpa memerlukan biaya promosi dan biaya investasi cabang baru.
- Produk atau jasa dikonsumsi dengan mutu yang sama.
- Keuntungan dari royalti atau penjual lisensi.
- Bisnisnya bisa berkembang dengan cepat di banyak lokasi secara bersamaan, meningkatnya keuntungan dengan memanfaatkan investasi dari franchisee.
Bagi Franchisee (pemilik hak-jual) :
- Popularitas produk atau jasa sudah dikenal konsumen, menghemat biaya promosi.
- Mendapatkan fasilitas-fasilitas manajemen tertentu sesuai dengan training yang dilakukan oleh franchiser.
- Mendapatkan image sama dengan perusahaan induk.
Kerugian bagi franchisee (pemilik hak-jual) :
- Biaya startup cost yang tinggi, karena selain kebutuhan investasi awal, franchisee harus membayar pembelian franchise yang biasanya cukup mahal.
- Franchisee tidak bebas mengembangkan usahanya karena berbagai peraturan yang diberikanoleh franchisor.
- Franchisee biasanya terikat pada pembelian bahan untuk produksi untuk standarisasi produk/jasa yang dijual.
- Franchisee harus jeli dan tidak terjebak pada isi perjanjian dengan franchisor, karena bagaimanapun biasanya perjanjian akan berpihak kepada prinsipal/ franchisor dengan perbandingan 60:40.
Beberapa Franchise Asing yang sukses di Indonesia
misalnya dalam bidang usaha makanan, minuman dan cafe antara lain Quickly,
Baskin Robin, Starbucks, Mc Donalds, Pizza Hut, Wendy’s, Tony Romas, Bread
Story, Bread Talk, Kentucky Fried Chicken, Kafe Dome, Hard Rock Café, Planet
Hollywood, sedangkan bidang usaha lain misalnya Sogo Department Store, Marks
& Spencer, Ace Hardware, ERA Indonesia, Ray White, English First, Future
Kids, dan lain-lain.
Franchise Lokal menjadi salah satu pilihan investasi
untuk orang-orang yang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak memiliki
pengetahuan cukup piranti awal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan oleh
pemilik waralaba. Contohnya antara lain Es Teler 77, Mr Celup, Ayam Bakar Wong
Solo, dan lain sebagainya.
Sumber :
- Suharnoko. 2007. Hukum Perjanjian. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
- Tim Dosen, 2012.Hukum Bisnis. Unimed, Medan
- Tim Dosen, 2011.Kewirausahaan. Unimed, Medan
- http://iqrablogspot.blogspot.com/2011/11/bisnis-secara-franchising.html
- http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24936/3/Chapter%20II.pdf
0 comments:
Post a Comment