Sunday, May 27, 2012


Oleh
Roma Tua Pasaribu
Franchise lahir di Amerika Serikat kurang lebih satu abad yang lalu ketika perusahaan mesin jahit singer mulai memperkenalkan konsep franchising sebagai suatu cara untuk mengembangkan distribusi produknya. Demikian pula perusahaan-perusahaan bir memberika lisensi kepada perusahaan kecil sebagai upaya mendistribusikan produk mereka.

Di Indonesia franchise dikenal sejak era 70-an ketika masuknya Shakey Pisa, KFC, Swensen dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai sekitar 1995. Data Deperindag pada 1997 mencatat sekitar 259 perusahaan penerima franchise di Indonesia. Setelah itu, usaha franchise mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter. Para penerima franchise asing terpaksa menutup usahanya karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik yang belum stabil ditandai dengan perseteruan para elit politik. Barulah pada 2003, usaha franchise di tanah air mengalami perkembangan yang sangat pesat.


Frenchise dengan cepat menjadi model yang dominan dalam mendistribusikan barang dan jasa di Amerika Serikat. Menurut the Internasional Franchise Association, sekarang ini satu dari 12 usaha perdagangan di Amerika Serikat adalah franchise. Franchising kemudian berkembang dengan pesat karena metode pemasaran ini digunakan oleh berbagai jenis usaha seperti restoran, bisnis retail, salon rambut, hotel, dealer mobil, stasiun pompa besin dan sebagainya.

Kata franchise sebenarnya berasal dari bahasa Perancis yang berarti bebas, atau lebih lengkap lagi bebas dari perhambatan (freeform service). Dalam bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang diperoleh seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu. Dapat juga disebutkan bahwa franchise adalah hubungan berdasarkan kontrak lisensi yang menimbulkan cara memasarkan barang atau jasa dengan memberikan unsur kontrol tertentu kepada pemasok sebagai imbalan yang diperoleh oleh pihak yang mendapat hak untuk menggunakan merk dan nama barang franchisor.

Menurut the International Franchise Association (IFA) mendefinisikan franchise sebagai hubungan kontraktual antara franchisor dengan franchise, dimana franchisor berkewajiban menjaga kepentingan secara kontinyu pada bidang usaha yang dijalankan oleh franchisee misalnya lewat pelatihan, di bawah merek dagang yang sama, format dan standar operasional atau kontrol pemilik (franchisor), dimana franchisee menamankan investasi pada usaha tersebut dari sumber dananya sendiri.

Dalam sistem waralaba terdapat tiga komponen yaitu :

  1. Franchisor, yaitu Pihak yang memiliki sistem atau cara-cara dalam berbisnis.
  2. Franchisee, yaitu Pihak yang membeli waralaba atau sistem dari pemberi waralaba (franchisor)sehingga memiliki hak untuk mejalankan bisnis dengan cara-cara yang dikembAngkan oleh pemberi waralaba.
  3. Franchise, yaitu sistem dan cara-cara bisnis itu sendiri, ini merupakan pengetahuan atau spesifikasi usaha dari franchisor yang dijual kepada franchisee.

Masalah perlindungan hukum bagi franchise timbul sehubungan dengan adanya kekhawatiran bahwa franchisor akan memutuskan perjanjian akan menolak memperbaharui perjanjian dan kemudian mendistribusikan sendiri produknya di wilayah franchise. Dalam hal ini timbul perbedaan pendapat mengenai undang-undang yang mengatur pemutusan perjanjian untuk melindungi kepentingan franchise. Hubungan hukum antara franchisor dan franchise ditandai ketidak seimbangan kekuatan tawar-menawar atau (unequel bergaining power).

Dasar hukum penyelenggaraan waralaba atau franchising adalah kontrak kerja sama antara franchisor sebagai induk perusahaan dengan franchise (agen atau perusahaan penyalur). Perusahaan induk dapat saja membatalkan perjanjian tersebut apabila perusahaan yang diajak kerjasama melanggar persyaratan yang telah ditetapkan dalam persetujuan.

Dasar Hukum Franchise :

  • Perjanjian sebagai dasar hukum KUH Perdata pasal 1338 (1), 1233 s/d 1456 KUH Perdata; para pihak bebas melakukan apapun sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kebiasan, kesopanan atau hal-hal lain yang berhubungan dengan ketertiban umum, juga tentang syarat-syarat sahnya perjanjian dsb.
  • Hukum keagenan sebagai dasar hukum; KUH Dagang (Makelar & Komisioner), ketentuan-ketentuan yang bersifat administrative seperti berbagai ketentuan dari Departemen Perindustrian, Perdagangan dsb. Seringkali ditentukan dengan tegas dalam kontrak franchise bahwa di antara pihak franchisor dengan franchisee tidak ada suatu hubungan keagenan.
  • Undang-undang Merek, Paten dan Hak Cipta sebagai dasar hukum; berhubung ikut terlibatnya merek dagang dan logo milik pihak franchisor dalam suatu bisnis franchise, apalagi dimungkinkan adanya suatu penemuan baru oleh pihak franchisor, penemuan dimana dapat dipatenkan. UU No.19 (1992) Merek, UU No 6 (1982) Paten, UU No.7 (1987) Hak Cipta.
  • UU Penanaman Modal Asing sebagai dasar hukum; Apabila pihak franchisor akan membuka outlet di suatu Negara yang bukan negaranya pihak franchisor tersebut maka sebaiknya dikonsultasi dahulu kepada ahli hukum penanaman modal asing tentang berbagai kemungkinana dan alternative yang mungkin diambil dan yang paling menguntungkannya.
  • Peraturan pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba maupun Keputusan  Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/1997 Tanggal 30 Juli 1997 disebutkan bahwa perjanjian waralaba harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
Beberapa keuntungan bagi Franchisor (perusahaan induk) :

  1. Produk atau jasa terdistribusi secara luas tanpa memerlukan biaya promosi dan biaya investasi cabang baru.
  2. Produk atau jasa dikonsumsi dengan mutu yang sama.
  3. Keuntungan dari royalti atau penjual lisensi.
  4. Bisnisnya bisa berkembang dengan cepat di banyak lokasi secara bersamaan, meningkatnya keuntungan dengan memanfaatkan investasi dari franchisee.
Bagi Franchisee (pemilik hak-jual) :

  1. Popularitas produk atau jasa sudah dikenal konsumen, menghemat biaya promosi.
  2. Mendapatkan fasilitas-fasilitas manajemen tertentu sesuai dengan training yang dilakukan oleh franchiser.
  3. Mendapatkan image sama dengan perusahaan induk.
Kerugian bagi franchisee (pemilik hak-jual) :

  1. Biaya startup cost yang tinggi, karena selain kebutuhan investasi awal, franchisee harus membayar pembelian franchise yang biasanya cukup mahal.
  2. Franchisee tidak bebas mengembangkan usahanya karena berbagai peraturan yang diberikanoleh franchisor.
  3. Franchisee biasanya terikat pada pembelian bahan untuk produksi untuk standarisasi produk/jasa yang dijual.
  4. Franchisee harus jeli dan tidak terjebak pada isi perjanjian dengan franchisor, karena bagaimanapun biasanya perjanjian akan berpihak kepada prinsipal/ franchisor dengan perbandingan 60:40.
Beberapa Franchise Asing yang sukses di Indonesia misalnya dalam bidang usaha makanan, minuman dan cafe antara lain Quickly, Baskin Robin, Starbucks, Mc Donalds, Pizza Hut, Wendy’s, Tony Romas, Bread Story, Bread Talk, Kentucky Fried Chicken, Kafe Dome, Hard Rock CafĂ©, Planet Hollywood, sedangkan bidang usaha lain misalnya Sogo Department Store, Marks & Spencer, Ace Hardware, ERA Indonesia, Ray White, English First, Future Kids, dan lain-lain.

Franchise Lokal menjadi salah satu pilihan investasi untuk orang-orang yang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak memiliki pengetahuan cukup piranti awal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan oleh pemilik waralaba. Contohnya antara lain Es Teler 77, Mr Celup, Ayam Bakar Wong Solo, dan lain sebagainya.

Sumber :
  1. Suharnoko. 2007. Hukum Perjanjian. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
  2. Tim Dosen, 2012.Hukum Bisnis. Unimed, Medan
  3. Tim Dosen, 2011.Kewirausahaan. Unimed, Medan
  4. http://iqrablogspot.blogspot.com/2011/11/bisnis-secara-franchising.html
  5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24936/3/Chapter%20II.pdf

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!