Monday, April 23, 2012


Oleh
Ibnu Dika

Bila di tinjau dari segi kuantitasnya antara produsen dan konsumen tidaklah seimbang. Terkadang karena banyaknya barang yang di tawarkan, bisa membuat konsumen menjadi tidak teliti dalam memilih produk tersebut, sehingga tak sempat lagi memperhatikan mutu, masa daluarsa serta efek dari pemakaian barang tsb.

Keadaan ini tidak menutup kemungkinan terjadi di daerah-daerah yang khususnya kota besar seperti Jakarta, Bandung, Denpasar, dan kota besar lainnya di Tanah Air. Dengan kejadian tersebut, konsumen jelas dirugikan. Lalu, dapatkah konsumen membuktikan dirinya dirugikan oleh akibat yang ditimbulkan dengan pemakaian merek barang yang palsu tersebut? 

Untuk membuktikan bahwa konsumen itu dirugikan sepertinya agaknya sulit, karena harus melalui pembuktian laboratorium, apabila si konsumen terkontaminasi. Karenanya, posisi konsumen lemah jika dihadapkan dengan produsen atau penjual. Sehingga, perlu ada tindakan tegas pemerintah dan usaha keras dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam hal lebih serius mengontrol produk barang yang beredar serta mempersoalkan produsen atau penjual yang 'bermasalah' melalui jalur hukum, agar keadaan yang merugikan tersebut. tidak tumbuh subur di pasaran.


Apalagi jika dihadapkan dengan era persaingan pasar bebas yang menuntut kualitas produk- produk barang yang bermutu. Jika sejak dini pemerintah tidak melakukan pembenahan serius serta tindakan tegas terhadap produsen atau penjual yang 'nakal', maka produk barang kita hanya akan jadi pajangan dan tetap kalah bersaing dengan negara lain.

Kewajiban dasar produsen atau penjual adalah menjamin produk barang yang dipasarkan bermutu. Dalam dunia produksi ada 2 (dua) macam jaminan yaitu express warranty dan implied warranty.


Pertama, Express warranty (jaminan tegas), terwujud melalui kartu jaminan atau dengan iklan. Dengan propaganda iklan, seakan memberikan ketegasan bahwa kualitas produk barang bermutu. Konsekuensinya, jika barang tersebut. ternyata palsu, rusak dan cacat, maka produsen atau penjual otomatis bertanggung jawab.

Sayang, kenyataannya jauh dari harapan di mana masih saja ditemukan barang palsu, kadaluarsa, rusak, yang beredar di pasaran. Sehingga perlu disikapi secara tegas oleh pemerintah dalam menangkal permainan ''kotor'' produsen atau penjual.

Kedua, Implied warranty (jaminan yang dianggap harus diberikan kepada konsumen). Karena diatur dalam undang-undang, walau tanpa kartu jaminan atau iklan, produsen/penjual otomatis bertanggung jawab, jika barang palsu, rusak, cacat, apalagi sampai merugikan konsumen.

Di dalam Pasal 1233 KUH. Perdata, tiap perikatan lahir karena persetujuan dan undang-undang. Hubungan produsen/penjual dengan pembeli timbul karena kesepakatan. Di mana berawal dari tawar-menawar sampai timbul kesepakatan dalam transaksi. Pasal 1320 KUH. Perdata mensyaratkan untuk sah suatu perjanjian harus memenuhi: (1) kata sepakat/konsensus. (2) kecakapan (dewasa, tidak sakit ingatan) untuk membuat perikatan. (3) mengenai hal atau objek tertentu. (4) adanya dasar/sebab yang halal.

Dengan dibelinya produk barang yang dipasarkan, baik secara terang-terangan maupun diam-diam, produsen/penjual sepakat dengan konsumen, bahwa barang yang dibeli konsumen tersebut bermutu.Di sisi lain, tidak boleh ada pemaksaan, kekhilafan, terlebih penipuan produsen/penjual terhadap konsumen. Konsekuensinya, jika terjadi penipuan berupa pemalsuan merek produk barang, konsumen dapat mengembalikan atau meminta ganti rugi, berdasarkan wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Tetapi kesulitan akan timbul, jika konsumen harus membuktikan dirinya mengalami kerugian.

Melihat problematika tsb, perlu peraturan sebagai ''payung'' dalam mengatur perlindungan konsumen berupa RUU Perlindungan Konsumen yang sekarang sudah diajukan ke Mensesneg, harus berisikan: Pertama, Sistem beban pembuktian terbalik. Di mana, produsen atau penjual, yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, bukan konsumen. Kedua, Konsumen bisa perorangan/ bersama-sama (Class action) dapat menggugat secara kolektif terhadap produsen, penjual, melalui pengadilan. Di sisi lain, harus ada political will pemerintah, untuk tegas menerapkan sanksi pidana.

Di mana produsen atau penjual terbukti melakukan penipuan/palsu merek produk barang tertentu atau merek milik orang lain untuk diperdagangkan dengan penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. (Pasal 79 UU Merek). Dengan kian ketatnya persaingan bisnis dewasa ini, dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam-macam produk barang, maka perlu keseriusan YLKI memantau produsen atau penjual yang 'nakal', yang hanya mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk barang.

Fenomena tersebut benar terjadi, di mana ditemukan banyak produk tidak bermutu dan palsu. Apalagi, masyarakat kita kebanyakan tinggal di desa, tidak tahu akan efek/indikasi dari produk barang yang digunakan, misalkan makanan kaleng, minuman botol, obat-obatan, dan banyak lagi yang lain. Hal demikian, menjadi makanan empuk bagi produsen atau penjual untuk membodohi masyarakat dengan barang palsu.

Oleh Karena itu, kiprah YLKI dan cabangnya di daerah harus serius mengontrol kelayakan produk barang yang dipasarkan. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat, mengenai tertib niaga dan hukum perlindungan konsumen, agar tidak terjebak tipu muslihat orang yang hanya ingin meraup untung dengan korbankan masyarakat. YLKI diharapkan sering melakukan pengumuman/imbauan melalui TV, radio, agar masyarakat selektif serta hati-hati dalam membeli produk barang yang muncul bak cendawan di musim hujan. Juga membuka ''kotak pengaduan'' bagi masyarakat yang menemukan, merasa dirugikan dari produk barang yang digunakan. Dan, temuan yang disampaikan masyarakat harus pula, segera diselesaikan tuntas.

Akhirnya, untuk melindungi konsumen dari ulah produsen atau penjual yang nakal, semuanya kembali lagi kepada kita, dengan harapan terus meningkatkan keseriusan, kepekaan dan kepedulian untuk mengontrol penggunaan merek produk barang yang beredar di pasaran, agar konsumen terhindar dari permainan kotor produsen/penjual.

Pustaka:

1.        Adi Setya, Reso. 2010, Studi Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Iklan Provider Telekomunikasi di Indonesia, SKRIPSI, Surakarta.(online)
2.        Gaharpung, marianus. Upaya perlindungan hukum bagi konsumen,(online)
3.        Hidjahriningsih,sri anggraini. 2010, jurnal upaya penanggulangan pelanggaran hak-hak konsumen dalam iklan media cetak,(online)
4.        Hutagalung. SP, 1989, perlindungan hukum terhadap konsumen, Jakarta.(online)

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!