Oleh Ibnu Dika |
Bila di tinjau dari segi kuantitasnya
antara produsen dan konsumen tidaklah seimbang. Terkadang karena banyaknya
barang yang di tawarkan, bisa membuat konsumen menjadi tidak teliti dalam
memilih produk tersebut, sehingga tak sempat lagi memperhatikan mutu, masa
daluarsa serta efek dari pemakaian barang tsb.
Keadaan ini tidak menutup kemungkinan
terjadi di daerah-daerah yang khususnya kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Denpasar, dan kota besar lainnya di Tanah Air. Dengan kejadian tersebut,
konsumen jelas dirugikan. Lalu, dapatkah konsumen membuktikan dirinya dirugikan
oleh akibat yang ditimbulkan dengan pemakaian merek barang yang palsu tersebut?
Untuk membuktikan bahwa konsumen itu dirugikan sepertinya agaknya sulit, karena harus melalui pembuktian laboratorium, apabila si konsumen terkontaminasi. Karenanya, posisi konsumen lemah jika dihadapkan dengan produsen atau penjual. Sehingga, perlu ada tindakan tegas pemerintah dan usaha keras dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam hal lebih serius mengontrol produk barang yang beredar serta mempersoalkan produsen atau penjual yang 'bermasalah' melalui jalur hukum, agar keadaan yang merugikan tersebut. tidak tumbuh subur di pasaran.
Untuk membuktikan bahwa konsumen itu dirugikan sepertinya agaknya sulit, karena harus melalui pembuktian laboratorium, apabila si konsumen terkontaminasi. Karenanya, posisi konsumen lemah jika dihadapkan dengan produsen atau penjual. Sehingga, perlu ada tindakan tegas pemerintah dan usaha keras dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam hal lebih serius mengontrol produk barang yang beredar serta mempersoalkan produsen atau penjual yang 'bermasalah' melalui jalur hukum, agar keadaan yang merugikan tersebut. tidak tumbuh subur di pasaran.
Apalagi jika dihadapkan dengan era
persaingan pasar bebas yang menuntut kualitas produk- produk barang yang
bermutu. Jika sejak dini pemerintah tidak melakukan pembenahan serius serta
tindakan tegas terhadap produsen atau penjual yang 'nakal', maka produk barang
kita hanya akan jadi pajangan dan tetap kalah bersaing dengan negara lain.
Kewajiban dasar produsen atau penjual
adalah menjamin produk barang yang dipasarkan bermutu. Dalam dunia produksi ada
2 (dua) macam jaminan yaitu express warranty dan implied warranty.
Pertama, Express warranty (jaminan tegas),
terwujud melalui kartu jaminan atau dengan iklan. Dengan propaganda iklan,
seakan memberikan ketegasan bahwa kualitas produk barang bermutu.
Konsekuensinya, jika barang tersebut. ternyata palsu, rusak dan cacat, maka
produsen atau penjual otomatis bertanggung jawab.
Sayang, kenyataannya jauh dari harapan di
mana masih saja ditemukan barang palsu, kadaluarsa, rusak, yang beredar di pasaran.
Sehingga perlu disikapi secara tegas oleh pemerintah dalam menangkal permainan
''kotor'' produsen atau penjual.
Kedua, Implied warranty (jaminan yang
dianggap harus diberikan kepada konsumen). Karena diatur dalam undang-undang,
walau tanpa kartu jaminan atau iklan, produsen/penjual otomatis bertanggung
jawab, jika barang palsu, rusak, cacat, apalagi sampai merugikan konsumen.
Di dalam Pasal 1233 KUH. Perdata, tiap
perikatan lahir karena persetujuan dan undang-undang. Hubungan produsen/penjual
dengan pembeli timbul karena kesepakatan. Di mana berawal dari tawar-menawar
sampai timbul kesepakatan dalam transaksi. Pasal 1320 KUH. Perdata mensyaratkan
untuk sah suatu perjanjian harus memenuhi: (1) kata sepakat/konsensus. (2)
kecakapan (dewasa, tidak sakit ingatan) untuk membuat perikatan. (3) mengenai
hal atau objek tertentu. (4) adanya dasar/sebab yang halal.
Dengan dibelinya produk barang yang
dipasarkan, baik secara terang-terangan maupun diam-diam, produsen/penjual
sepakat dengan konsumen, bahwa barang yang dibeli konsumen tersebut bermutu.Di
sisi lain, tidak boleh ada pemaksaan, kekhilafan, terlebih penipuan
produsen/penjual terhadap konsumen. Konsekuensinya, jika terjadi penipuan
berupa pemalsuan merek produk barang, konsumen dapat mengembalikan atau meminta
ganti rugi, berdasarkan wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad). Tetapi kesulitan akan timbul, jika konsumen harus
membuktikan dirinya mengalami kerugian.
Melihat problematika tsb, perlu peraturan
sebagai ''payung'' dalam mengatur perlindungan konsumen berupa RUU Perlindungan
Konsumen yang sekarang sudah diajukan ke Mensesneg, harus berisikan: Pertama,
Sistem beban pembuktian terbalik. Di mana, produsen atau penjual, yang harus
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, bukan konsumen. Kedua, Konsumen bisa
perorangan/ bersama-sama (Class action) dapat menggugat secara kolektif
terhadap produsen, penjual, melalui pengadilan. Di sisi lain, harus ada
political will pemerintah, untuk tegas menerapkan sanksi pidana.
Di mana produsen atau penjual terbukti
melakukan penipuan/palsu merek produk barang tertentu atau merek milik orang
lain untuk diperdagangkan dengan penjara paling lama tujuh tahun dan denda
paling banyak Rp 100 juta. (Pasal 79 UU Merek). Dengan kian ketatnya persaingan
bisnis dewasa ini, dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam-macam produk
barang, maka perlu keseriusan YLKI memantau produsen atau penjual yang 'nakal',
yang hanya mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk barang.
Fenomena tersebut benar terjadi, di mana
ditemukan banyak produk tidak bermutu dan palsu. Apalagi, masyarakat kita kebanyakan
tinggal di desa, tidak tahu akan efek/indikasi dari produk barang yang
digunakan, misalkan makanan kaleng, minuman botol, obat-obatan, dan banyak lagi
yang lain. Hal demikian, menjadi makanan empuk bagi produsen atau penjual untuk
membodohi masyarakat dengan barang palsu.
Oleh Karena itu, kiprah YLKI dan cabangnya
di daerah harus serius mengontrol kelayakan produk barang yang dipasarkan.
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat, mengenai tertib niaga dan hukum
perlindungan konsumen, agar tidak terjebak tipu muslihat orang yang hanya ingin
meraup untung dengan korbankan masyarakat. YLKI diharapkan sering melakukan
pengumuman/imbauan melalui TV, radio, agar masyarakat selektif serta hati-hati
dalam membeli produk barang yang muncul bak cendawan di musim hujan. Juga
membuka ''kotak pengaduan'' bagi masyarakat yang menemukan, merasa dirugikan
dari produk barang yang digunakan. Dan, temuan yang disampaikan masyarakat
harus pula, segera diselesaikan tuntas.
Akhirnya, untuk melindungi konsumen dari
ulah produsen atau penjual yang nakal, semuanya kembali lagi kepada kita,
dengan harapan terus meningkatkan keseriusan, kepekaan dan kepedulian untuk
mengontrol penggunaan merek produk barang yang beredar di pasaran, agar
konsumen terhindar dari permainan kotor produsen/penjual.
Pustaka:
1.
Adi Setya, Reso. 2010, Studi Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Iklan
Provider Telekomunikasi
di Indonesia, SKRIPSI, Surakarta.(online)
2.
Gaharpung, marianus.
Upaya perlindungan hukum bagi konsumen,(online)
3.
Hidjahriningsih,sri
anggraini. 2010, jurnal upaya penanggulangan pelanggaran hak-hak konsumen dalam
iklan media cetak,(online)
4.
Hutagalung. SP, 1989,
perlindungan hukum terhadap konsumen, Jakarta.(online)
0 comments:
Post a Comment